Mendesain Ruang Hunian 2025 Fleksibel dan Manusiawi

Infrastruktur7 Dilihat

Kebutuhan ruang tinggal masyarakat Indonesia terus berubah, lantaran pandemi Covid-19 sudah reda, namun warisannya masih tinggal di balik dinding rumah-rumah kita. Meja makan yang berubah jadi ruang kerja, kamar tidur menjadi ruang pertemuan daring, hingga ruang tamu yang tak lagi sekadar tempat menjamu, tapi panggung pertemuan virtual. Arsitektur rumah tak lagi bisa mematung pada pakem lama. Di sinilah Ar. Rustamaji HW, IAI, atau yang biasa disapa Adjie ini menemukan titik baliknya, bahwa hunian masa kini harus lentur, bernapas bersama ritme kehidupan penghuninya.

Di tengah dinamika perubahan gaya hidup dan tantangan krisis iklim global, merancang hunian yang relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini dan masa depan tidak lagi bisa dilakukan secara konvensional. Untuk itu, arsitek yang akrab disapa Adjie ini khusus membagikan pandangannya kepada Majalah Synergy Indonesia untuk dinikmati dan direnungkan oleh pembacanya tentang bagaimana seharusnya hunian tahun 2025 dirancang, yakni fleksibel, manusiawi, dan berpijak pada konteks lokal.

Beberapa Kunci Desain Hunian Kini dan Masa Depan

Menurut Adjie, hal pertama yang tak bisa diabaikan dalam merancang hunian saat ini adalah kebutuhan untuk beradaptasi dengan pola hidup baru. Pandemi Covid-19 telah mengubah cara manusia bekerja, belajar, bahkan berinteraksi. Banyak orang kini masih bekerja dari rumah, melakukan pertemuan daring, atau mengakses pendidikan secara digital.

“Ruang di rumah harus bisa menyesuaikan kebutuhan yang terus berubah. Bukan sekadar ruang tamu dan kamar tidur, tapi juga tempat kerja, tempat belajar, hingga ruang diskusi virtual. Hunian harus lentur, bukan kaku,” ujarnya.

Dalam konteks tersebut, fleksibilitas ruang menjadi aspek krusial. Penataan interior yang bisa diubahubah, furnitur multifungsi, serta desain yang adaptif terhadap aktivitas digital kini menjadi sorotan utama dalam rancangan rumah yang visioner.

READ  Kementerian PKP Kenalkan Rumah Subsidi Ukuran Mini

Adjie juga menekankan bahwa konektivitas dengan alam harus ditingkatkan. Peningkatan suhu global, kepadatan kota, dan kualitas udara yang memburuk menjadikan cahaya alami, sirkulasi udara sehat, serta elemen hijau sebagai kebutuhan, bukan pelengkap semata.

Namun, ia memberi catatan penting, bahwa pendekatan ini tetap harus mempertimbangkan lokasi dan kondisi lingkungan setempat.

“Kalau rumah ada di pinggir jalan raya dengan lalu lintas padat dan polusi tinggi, tentu bukaan ventilasi harus diatur agar tak membahayakan penghuni. Kita harus bijak dalam menerjemahkan konsep ‘rumah hijau’ agar benar-benar fungsional dan kontekstual,” tegasnya.

Baca Juga, Rumah 18 Meter Persegi Dinilai Tak Layak, IAI: Ini Bukan Solusi, tapi Jerat Kemiskinan Baru

Ketika ditanya tentang bagaimana menciptakan keseimbangan antara fungsi, estetika, dan kenyamanan dalam desain, Adjie menyebut bahwa ketiganya harus disatukan, bukan dipertentangkan.

“Bagi saya, fungsi datang lebih dulu, estetika menyusul, dan kenyamanan adalah tujuannya. Tidak ada yang boleh dominan. Semua harus saling menguatkan,” jelasnya.

Hunian yang baik, menurutnya, bukan sekadar indah dilihat, tapi juga nyaman ditempati dan mendukung kegiatan sehari-hari. Ini adalah pendekatan arsitektur empatik yang tidak hanya menyentuh indra visual, tapi juga emosional dan praktis.

Desain Hunian Modern dan Tantangan AI

Meski sering dianggap dingin atau kaku, Adjie percaya bahwa desain rumah modern justru bisa menyentuh sisi emosional penghuninya tergantung bagaimana ia dirancang.

“Justru lewat pendekatan minimalis, ada ruang untuk napas, untuk merenung. Perpaduan antara material alami seperti kayu dengan beton, serta pencahayaan alami yang berubah seiring waktu, mampu membangun suasana yang sangat personal,” katanya.

Baginya, ruang yang tenang, bersih, dan terhubung dengan alam mampu menghadirkan perasaan damai yang tak selalu bisa dijelaskan, tapi sangat terasa.

READ  Peluang Industri Bahan Bangunan di Tengah Perang Tarif

Dunia modern, yang identik dengan perkembangan teknologi, Adjie menyoroti pentingnya kolaborasi manusia dan mesin. Salah satunya dengan Artificial Intelligence (AI). Menurutnya, kini AI sudah sangat canggih mampu memberi alternatif desain, mensimulasikan kebutuhan pengguna, hingga mengolah data dalam skala besar.

Namun demikian, ia menegaskan bahwa AI tidak bisa menggantikan sentuhan manusia.

“AI bisa bantu kita eksplorasi ide, tapi keputusan kreatif tetap milik arsitek. Intuisi, empati, dan pemahaman budaya tidak bisa diotomatisasi,” tegasnya dengan yakin.

Belakangan ini, adanya peningkatan keterlibatan AI dalam proses kreatif memunculkan pertanyaan etis: Siapa pemilik karya? Menurut Adjie, ini menjadi tantangan besar bagi dunia arsitektur.

“Desain bukan hanya soal efisiensi atau solusi, tapi juga ekspresi. Kalau semua diserahkan ke mesin, lalu siapa yang punya hak atas karya itu? Ini bukan sekadar teknis, tapi juga soal integritas profesi,” ungkapnya.

Maka, sebagai arsitek sekaligus pendiri PT Daksa Vastu Utama, Adjie percaya bahwa arsitektur masa depan bukan soal memilih antara tradisi dan teknologi, melainkan tentang menghubungkan keduanya untuk menciptakan ruang hidup yang lebih manusiawi.

Dengan pengalaman mendesain proyek perumahan skala besar seperti Solo Urbana City seluas 25 hektare dan kini mengerjakan proyek Kota Modernland Cilejit seluas 300 hektare ini, Adjie meyakini bahwa kunci keberhasilan desain masa depan ada pada kemampuan untuk membaca zaman, tanpa kehilangan jati diri manusia.

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/mendesain-ruang-hunian-2025-fleksibel-dan-manusiawi/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *