Siapa Sebenernya Yang Diuntungkan Dari Pajak Properti?

Infrastruktur25 Dilihat

Pajak properti di Indonesia telah lama dipromosikan sebagai sumber penerimaan negara yang stabil, transparan, dan mudah diprediksi. Namun data fiskal, perilaku pasar, dan kajian kebijakan justru menunjukkan paradoks yang menggelitik: penerimaan pajak properti terus tertinggal dari potensi riilnya, sementara celah sistemik dalam penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) semakin membuka ruang bagi praktik tax avoidance yang legal namun merusak. Ketika NJOP dengan basis utama PBB, BPHTB, dan PPh Final transaksi tanah serta property tertinggal jauh dari harga pasar yang sesungguhnya, sistem perpajakan berubah menjadi arena arbitrase yang hanya benar-benar dipahami oleh developer besar, konsultan pajak, dan pelaku real estate yang mampu membaca kelemahan strukturalnya. Di sinilah akar mengapa pajak properti Indonesia terlihat stabil di atas kertas, tetapi sesungguhnya rapuh di fondasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, harga rumah melonjak lebih cepat daripada kenaikan pendapatan masyarakat, spekulasi tanah semakin agresif, dan transaksi properti tercatat melonjak di berbagai kota besar. Ironisnya, penerimaan pajak property mulai dari PBB, BPHTB, hingga PPh Final tidak mengalami pertumbuhan yang sepadan. Banyak akademisi dan analis fiskal berpendapat bahwa masalah utamanya bukan ketidakpatuhan wajib pajak, melainkan arsitektur sistem pajak properti itu sendiri. Ketika data NJOP tidak konsisten antar daerah, tidak diperbarui secara berkala, dan tidak mencerminkan market value, maka manipulasi nilai transaksi dalam AJB menjadi sulit dideteksi. Dalam kondisi ini, wajar jika developer dan pemilik aset besar mampu membayar pajak jauh di bawah proporsi nilai riil properti yang mereka perdagangkan.

Maka, pertanyaan yang paling provokatif namun paling relevan bagi pasar real estate Indonesia muncul ke permukaan: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari sistem pajak properti kita? Apakah benar masyarakat yang enggan membayar pajak? Ataukah justru struktur perpajakan berbasis NJOP itulah yang secara sistemik menciptakan peluang permainan angka, membuat BPHTB dan PPh Final kehilangan efektivitas, dan pada akhirnya menggerogoti fondasi penerimaan negara? Pertanyaan ini menjadi semakin penting ketika kita membandingkannya dengan negara-negara yang berhasil mengelola pajak properti berbasis nilai pasar mulai dari Jepang, Korea Selatan, Kanada hingga Selandia Baru yang semuanya menempatkan transparansi nilai sebagai syarat utama stabilitas fiskal dan kesehatan pasar properti.

Pajak properti adalah salah satu tulang punggung fiskal di negara mana pun. Ketika dikelola dengan baik, ia menjadi sumber penerimaan stabil, tahan krisis, dan adil secara ekonomi. Di negara-negara OECD, pajak properti menyumbang rata-rata 1–2% dari PDB tertinggi dibanding jenis pajak aset lain karena basisnya luas dan relatif tidak mudah dimanipulasi. Namun ketika basis nilai properti tidak mencerminkan kenyataan pasar, pajak properti berubah menjadi sistem rapuh yang bisa dimanfaatkan oleh aktor yang paling paham celahnya. Indonesia berada tepat dalam kategori kedua: sebuah negara dengan pasar properti yang hidup, nilai tanah yang terus naik, tetapi sistem perpajakan yang justru tertinggal dari realitas ekonominya.

READ  Menyelami Gaya Hidup Penghuni Co-living

Kerap kali perdebatan tentang rendahnya penerimaan pajak mengarah pada masyarakat: “orang Indonesia malas bayar pajak.” Namun narasi itu runtuh ketika dicermati lebih dalam. Bukti empiris memperlihatkan bahwa problema terbesar bukan pada moralitas wajib pajak, melainkan pada arsitektur sistem perpajakannya sendiri yang memberi ruang luas bagi tax avoidance legal. Sistem yang semestinya menjaga integritas transaksi justru menciptakan insentif untuk meminimalkan kewajiban fiskal dengan cara yang sepenuhnya sah menurut aturan. Di sinilah NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang selama ini dianggap fondasi, berubah menjadi anomali struktural.

Sejak awal, konsep NJOP tidaklah keliru. Banyak negara menggunakan skema yang mirip, dikenal sebagai assessed value atau cadastral value, sebagai basis pajak properti. Namun di negara-negara yang berhasil, nilai tersebut diperbarui secara berkala, bersandar pada data pasar yang akurat, dan diawasi oleh institusi independen. Jepang, misalnya, menilai ulang properti setiap tiga tahun menggunakan pendekatan mass valuation, sementara New Zealand dan Kanada menggunakan Automated Valuation Model (AVM) yang memproses data real-time transaksi properti, nilai KPR, hingga listing terbuka. Sebaliknya, di Indonesia, NJOP sering kali tertinggal bertahun-tahun dibanding nilai pasar, dan proses pembaruannya tidak konsisten antar daerah. Ketika NJOP hanya menjadi nilai administratif, bukan refleksi harga riil, celah manipulasi tercipta dalam skala masif.

Celakanya, celah itu kini dipahami dengan sangat baik oleh para developer dan pelaku pasar berkapasitas besar. Struktur pajak properti yang ada seperti BPHTB, PPh Final 4 ayat (2), hingga PPN property semuanya berbasis nilai transaksi atau NJOP mana yang lebih tinggi. Jika NJOP terlalu rendah, deviasi antara harga riil dan harga kertas meningkat, dan transaksi menjadi terlalu mudah “disesuaikan” di tingkat akta. Ditambah lagi kurangnya integrasi data antara BPN, Pemda, DJP, PPAT, dan perbankan menciptakan ekosistem gelap di mana negara tidak memiliki satu pun “nilai referensi resmi” untuk mengecek kebenaran harga jual sesungguhnya. Inilah yang membuat tax avoidance dalam sektor properti bukan hanya mungkin, tapi rasional bagi aktor besar yang memahami struktur permainan.

READ  Indonesian Paradise Property Tumbuh Pesat di 2024, Optimis Pertahankan Tren Positif di 2025

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa operator system pemerintah daerah, birokrasi penilaian, dan aparat pelaksana memiliki ruang diskresi cukup besar dalam menentukan atau mempertahankan NJOP. Dalam beberapa kasus, NJOP ditahan rendah demi menjaga kestabilan politik; di kasus lain, tiba-tiba dinaikkan demi mengejar Pendapatan Asli Daerah. Ketidakkonsistenan ini menciptakan volatilitas dan ketidakpastian, tetapi lebih penting lagi adalah menciptakan ruang tawar-menawar yang tidak selalu tercatat dalam dokumen publik. Dalam ekosistem seperti itu, developer yang memiliki sumber daya, konsultan, dan pemahaman teknis akan jauh lebih unggul dibanding pembeli rumah pertama yang sekadar ingin tempat tinggal.

Baca Juga, Tak Ada Program Bedah Rumah di DKI Padahal 209 Ribu Rumah Tak Layak Huni, Ini Alasannya

Pada titik ini, pembeli property (masyarakat umum) sebenarnya adalah pihak paling dirugikan. Bagi mereka, angka di AJB tidak mencerminkan harga pasar sesungguhnya. Ketika kelak ingin menjual kembali rumahnya, mismatch antara harga pembelian dan nilai NJOP menciptakan beban pajak tambahan yang tak mereka rencanakan. Lebih jauh lagi, pembeli rumah pertama sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan celah sistem. Mereka masuk ke pasar properti dengan harga riil, tetapi menjalani proses perpajakan yang dibangun di atas nilai kertas. Sistem yang seharusnya melindungi justru menciptakan distorsi.

Jika ditarik lebih luas, persoalan ini tidak hanya merugikan fiskus negara, tetapi juga menimbulkan efek ekonomi jangka panjang. Ketika properti dapat diperlakukan sebagai aset spekulatif dengan beban pajak minimal (akibat celah NJOP) uang mengalir ke tanah dan bangunan yang disimpan sebagai portofolio, bukan ke sektor produktif. Fenomena “land banking” menjadi subur, terutama di kawasan urban. Akibatnya, harga tanah naik bukan karena kebutuhan atau permintaan riil, tetapi karena insentif pajak yang tidak proporsional. Negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan Selandia Baru telah lama menghadapi masalah serupa, dan mereka menyelesaikannya dengan dua jalan: integrasi data properti nasional dan pengetatan pajak atas aset spekulatif. Indonesia belum bergerak ke arah itu secara sistemik.

Maka, jika pemerintah ingin menutup kebocoran ini dan menegakkan kembali integritas fiscal reformasi setengah hati tidak akan cukup. Negara membutuhkan keputusan ekstrem untuk situasi ekstrem. Langkah paling fundamental yang harus dilakukan adalah mematikan NJOP dalam bentuknya yang lama dan menggantinya dengan National Market Value Index: basis nilai pasar nasional yang disusun dari data real-time transaksi PPAT, appraisal perbankan, listing marketplace properti, dan model algoritmik penilaian massal. Dengan kata lain, negara harus memiliki “harga resmi” yang mendekati harga riil, bukan angka administratif yang tidak relevan dengan dinamika pasar.

READ  Utang Pinjol dan Paylatter Warga Indonesia Kian Tinggi, Tembus Rp100 Triliun

Langkah ekstrem berikutnya adalah membangun ID Properti Nasional yang wajib tertanam pada setiap bidang tanah dan bangunan. Tanpa ID ini, tidak ada proses balik nama, tidak ada KPR, tidak ada BPHTB, tidak ada PBG atau SLF. Sistem ini memaksa seluruh transaksi properti masuk ke jalur yang terintegrasi antara BPN, DJP, Pemda, PPAT, dan perbankan. Negara-negara maju sudah menjalankan sistem inidengan berbagai versi dan hasilnya bukan hanya akurasi pajak meningkat, tetapi juga memperkuat keamanan transaksi dan mencegah mafia tanah.

Reformasi harus dilanjutkan dengan Omnibus Audit Properti, yakni audit nasional yang memeriksa harga kertas (AJB) versus harga pasar yang terekam dalam data bank, asuransi, dan marketplace properti. Developer perlu diberikan jendela koreksi sukarela selama dua tahun untuk membenahi laporan pajak masa lalu dengan denda ringan. Setelah itu, pengetatan dilakukan dengan tegas, bahkan jika perlu disertai publikasi terbatas untuk menumbuhkan efek jera. Strategi ini pernah sukses diterapkan di Inggris dan Korea Selatan untuk mengejar selisih pajak properti komersial.

Namun reformasi tidak akan adil tanpa membedakan antara spekulan dan pembeli rumah pertama. Sistem pajak properti harus memprioritaskan hunian sebagai kebutuhan dasar. Rumah pertama harus diberi perlindungan: PBB rendah, BPHTB ringan, bahkan pembebasan parsial untuk rumah dengan nilai tertentu. Sebaliknya, rumah kedua, ketiga, tanah kosong, dan apartemen investasi perlu diberi tarif progresif. Negara seperti Kanada dan Selandia Baru sudah menerapkan pajak anti-spekulasi yang efektif mengurangi lonjakan harga rumah dan menjaga pasar tetap sehat.

Di ujungnya, reformasi ekstrem ini bukan sekadar menambah penerimaan negara. Ini tentang membangun landasan data dan fiskal yang benar-benar bisa dipercaya. Dalam ekosistem keuangan modern, transparansi adalah syarat minimum bagi integritas pasar. Tanpa itu, tax avoidance akan selalu terlihat lebih rasional daripada kepatuhan. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengubah arah sejarah perpajakan propertinya dengan syarat berani meninggalkan sistem lama yang sudah tidak kompatibel dengan era data.

Reformasi ini bukan soal menaikkan pajak, tetapi mengembalikan kejujuran dalam cara negara menilai asetnya. Dan di dunia properti, kejujuran nilai adalah fondasi yang jauh lebih penting daripada beton yang menopangnya.

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/siapa-sebenernya-yang-diuntungkan-dari-pajak-properti/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *