Setiap Rupiah Terpantau: Pajak Digital

Infrastruktur19 Dilihat

Pada 1 Juli 2024, pemerintah Indonesia resmi memberlakukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi orang pribadi. Kebijakan ini merupakan implementasi dari Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7 Tahun 2021, dan dijabarkan melalui Peraturan Dirjen Pajak No. PER-20/PJ/2021 serta pembaruannya dalam PER-06/PJ/2023. Tujuan utamanya adalah menyederhanakan administrasi perpajakan dan memperkuat basis data fiskal nasional melalui integrasi digital lintas sektor.

Baca juga, Indocement Gandeng Seniman Galang Dana untuk Rumah Tukang Bangunan

Namun, yang terjadi di lapangan bukan sekadar perubahan teknis. Masyarakat kini mulai diselimuti kekhawatiran mendalam. Seiring viralnya narasi media sosial bahwa “mulai 17 Agustus, semua uang keluar-masuk digital akan terhubung ke NIK dan diawasi pajak“, sentimen publik kembali bergejolak. Banyak yang merasa deja vu—karena trauma terhadap pembekuan rekening dormant oleh PPATK belum sepenuhnya reda.

Sebagaimana diketahui, ribuan rekening masyarakat dibekukan dalam beberapa bulan terakhir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tanpa pemberitahuan langsung yang memadai kepada pemilik rekening. Meski dasar hukumnya merujuk pada UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), banyak warga merasa diperlakukan tidak adil, seolah mereka bersalah sebelum sempat membela diri. Mekanisme keberatan atau klarifikasi pun dirasakan tidak ramah publik, terutama bagi mereka yang bukan pelaku kejahatan finansial.

Di tengah suasana penuh kegelisahan itu, muncul pula kabar bahwa Bank Indonesia akan mulai menguji coba sistem Payment ID berbasis NIK pada 17 Agustus 2025. Payment ID adalah kode unik gabungan huruf dan angka yang terintegrasi dengan NIK, dan dirancang untuk melacak semua transaksi digital masyarakat—mulai dari perbankan, dompet digital, hingga aktivitas pinjaman daring.

READ  Menuju Kota Masa Depan yang Berkelanjutan

Menurut penjelasan Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung dalam wawancara resmi, tahap awal Payment ID akan difokuskan pada verifikasi penerima bantuan sosial. Namun ke depannya, Payment ID dirancang menjadi identitas tunggal sistem pembayaran nasional dan akan secara bertahap mencakup transaksi komersial, fintech, dan pembayaran lintas platform. Implementasi penuh ditargetkan berjalan antara tahun 2027 hingga 2029. Juda menekankan bahwa sistem ini akan tunduk pada ketentuan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), dengan akses data hanya dilakukan berdasarkan persetujuan pengguna (consent-based access).

Meski demikian, peluncuran Payment ID justru mempertegas keresahan masyarakat. Integrasi data antara NIK, NPWP, rekening bank, dan transaksi digital membentuk ekosistem big data fiskal yang sangat kuat. Dalam konteks pengawasan pajak, sistem ini membuka peluang analisis pola transaksi secara masif. Meskipun secara normatif yang dikenai pajak adalah penghasilan dan bukan transaksi itu sendiri, sistem digital tidak selalu memahami konteks sosial sebuah transfer: apakah itu kiriman dari orang tua, uang patungan, atau pinjaman pribadi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Dwi Astuti, dalam berbagai forum menyatakan bahwa DJP hanya memproses data yang relevan dengan potensi penghasilan yang tidak dilaporkan, bukan sekadar memantau semua transaksi. Ia menekankan bahwa sistem perpajakan Indonesia tetap menganut asas self-assessment, dan pemeriksaan hanya dilakukan berdasarkan analisis risiko dan data yang valid. Namun demikian, ia juga mengakui bahwa integrasi sistem digital memang membuka ruang bagi peningkatan pengawasan berbasis data.

Ketidakjelasan batas ambang dan kurangnya literasi masyarakat mengenai perbedaan antara penghasilan, transaksi pribadi, dan objek pajak menjadi titik lemah utama. Banyak warga mulai bertanya: “Jika saya menerima transfer dari orang tua tiap bulan, apa itu dianggap penghasilan? Bagaimana jika uang hasil iuran RT disangka omzet usaha?” Ketiadaan pedoman publik yang jelas membuat rakyat kecil rentan menjadi korban asumsi sistemik yang kaku.

READ  Permintaan Rumah Rp500 Jutaan di Karawang Tinggi

Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang lebih besar mulai mengemuka: Apakah ini masih dalam batas wajar penegakan pajak, atau telah menjadi bentuk pengawasan keuangan massal yang mengganggu rasa aman masyarakat?

Menurut sejumlah pengamat fiskal, seperti Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), digitalisasi sistem perpajakan adalah keniscayaan, namun harus dibarengi dengan pagar keadilan prosedural. Ia menyarankan pemerintah mengeluarkan safe-harbor rule atau batas nominal transaksi yang secara eksplisit tidak dianggap sebagai objek pajak. Selain itu, perlu adanya sistem klarifikasi daring yang cepat dan transparan, serta kampanye publik yang empatik, bukan menakut-nakuti.

Pemerintah juga perlu menyusun pedoman klasifikasi transaksi dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat biasa. Misalnya, transfer dari suami ke istri, patungan kegiatan sosial, atau reimburse pembelian barang bersama harus secara resmi dikategorikan sebagai non-penghasilan, dan dijelaskan lewat kanal resmi.

Dalam jangka pendek, DJP, BI, dan lembaga terkait harus melakukan edukasi publik secara intensif. Konten perlu disebarluaskan agar rakyat tidak hidup dalam ketakutan. Pemerintah juga harus memahami satu hal penting: kepercayaan adalah modal fiskal terbesar. Tanpa kepercayaan publik, digitalisasi justru akan melahirkan perlawanan pasif: rakyat memilih memutus kanal formal dan kembali pada praktik informal untuk menjaga rasa aman.

Pada akhirnya, rakyat Indonesia tidak menolak sistem yang transparan. Tapi mereka menuntut sistem yang adil, manusiawi, dan tidak menyamakan transfer untuk beli susu anak dengan transaksi gelap. Di titik inilah letak tantangan moral dari Payment ID dan integrasi NIK dalam sistem perpajakan: bagaimana membuat sistem yang canggih… tapi tidak kehilangan empati.

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/setiap-rupiah-terpantau-pajak-digital-atau-awal-pengawasan-finansial-total/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *