Reformasi Kebijakan Layanan

Nasional51 Dilihat


BUDI RAHMAN HAKIM

BUDI RAHMAN HAKIM

RM.id  Rakyat Merdeka – Di tengah harapan besar publik atas program-program layanan negara, kenyataan sering berbicara lain. Insiden keracunan pada program makan bergizi gratis dan polemik mahalnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di daerah seperti Pati, menunjukkan betapa rentannya kepercayaan warga terhadap kebijakan publik yang seharusnya melindungi. Kebijakan yang rapuh dalam eksekusi bisa menjadi bara dalam sekam relasi negara dan rakyat.

Pelayanan publik harus diposisikan sebagai hak konstitusional, bukan sebagai bonus dari negara yang bisa dicabut sewaktu-waktu. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 menyatakan dengan tegas bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun dalam praktik, banyak kebijakan seakan menjadikan warga rentan hanya sebagai objek eksperimen. Ketika program yang menyentuh kebutuhan dasar—makanan, rumah, layanan pendidikan atau kesehatan—tidak disiapkan dengan teliti, negara justru tampak lalai pada peran dasarnya.

Baca juga : Proyek, Nilai dan Rasa

Reformasi kebijakan layanan tidak bisa berhenti pada penggantian pejabat atau revisi kecil dalam aturan teknis. Kita memerlukan perombakan dalam mekanisme audit layanan, evaluasi kebijakan berbasis suara warga, serta desentralisasi pengawasan agar pengambilan keputusan lebih adaptif terhadap kebutuhan lokal. Seperti dikemukakan oleh Michael Lipsky dalam bukunya Street-Level Bureaucracy, kebijakan publik yang efektif lahir dari pemahaman mendalam di titik pelaksanaan, bukan sekadar kebijakan elitis dari atas.

Dalam era keterbukaan digital, transparansi data layanan publik adalah keharusan. Warga perlu tahu—berapa banyak dana dialokasikan, siapa pelaksananya, bagaimana pelaporannya. Keterbukaan bukan hanya alat cegah korupsi, tapi juga prasyarat kepercayaan. Bahkan, laporan Ombudsman RI menunjukkan bahwa sebagian besar keluhan masyarakat terhadap layanan publik bersumber dari minimnya informasi dan akses terhadap mekanisme pengaduan.

READ  Jadi Komisaris BUMN, Michael Wattimena Rela Lepas Jabatan Di DPP Demokrat

Baca juga : Kota yang Gentar

Kita juga harus mengakui: banyak reformasi yang selama ini dilakukan bersifat kosmetik. Ubah nama instansi, tambahkan teknologi, buat aplikasi layanan—tapi tanpa membenahi mentalitas birokrasi dan sistem akuntabilitas, semua itu hanya mempercantik keroposnya fondasi.

Warga bukan hanya penonton kebijakan. Mereka adalah penerima langsung dan pemilik hak. Ketika kebijakan menyentuh urat nadi kebutuhan hidup—seperti pangan, rumah, dan pajak—maka setiap cacat dalam perancangan atau pelaksanaan, sekecil apa pun, akan meninggalkan luka dan keraguan yang dalam. Krisis kepercayaan ini tidak bisa dijawab dengan PR politik atau klaim statistik semata.

Baca juga : Rumah Tak Sekadar Meja

Negara tidak hanya ditagih untuk hadir, tetapi juga untuk hadir dengan etika dan empati. Reformasi kebijakan layanan publik adalah kerja panjang dan sunyi, tapi itulah yang akan menentukan apakah kepercayaan rakyat tumbuh, atau terus menyusut hingga yang tersisa hanya rasa curiga dan apatisme.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *