Proyek, Nilai dan Rasa

Nasional18 Dilihat


BUDI RAHMAN HAKIM

BUDI RAHMAN HAKIM

RM.id  Rakyat Merdeka – Di tengah gemuruh retorika pembangunan, negara kembali meluncurkan satu proyek besar: energi dari sampah. Inisiatif ini, yang mulai dieksekusi lewat dana kedaulatan Danantara Indonesia, adalah bagian dari strategi transisi menuju energi terbarukan. Namun, seperti kata Ivan Illich dalam Tools for Conviviality (1973), teknologi dan proyek besar harus dilihat bukan dari seberapa canggihnya, tapi dari apakah ia membuat hidup bersama menjadi lebih adil dan manusiawi.

Proyek-proyek nasional memang tak bisa dihentikan. Jalan, bendungan, dan pembangkit baru terus dibangun. Tapi pertanyaan yang paling jarang dijawab adalah: untuk siapa sesungguhnya semua ini dibangun? Warga yang tinggal dekat Tempat Pembuatan Akhir (TPA)—sering kali rakyat kecil—tidak selalu diundang ke meja perencanaan. Padahal, merekalah yang pertama merasakan limbah, bau, dan risiko kesehatan dari pabrik energi sampah yang sedang digadang-gadang sebagai solusi masa depan.

Baca juga : Kota yang Gentar

Kita tentu ingin lepas dari energi fosil, tapi bila proses transisi tidak disertai keadilan sosial dan lingkungan, maka yang terjadi hanyalah bentuk baru dari kolonialisme energi. “Transisi hijau” bisa menjadi narasi kosong jika yang menikmati manfaat hanyalah elite kota atau investor asing. Sebaliknya, rakyat pinggiran hanya diberi residu—baik dalam bentuk polusi, maupun relokasi.

Pembangunan yang sehat adalah pembangunan yang membawa serta warga, bukan meninggalkannya. Ia menyerap aspirasi lokal, memitigasi risiko sosial, dan membagi hasil secara proporsional. Dalam hal ini, negara perlu bukan hanya kalkulasi teknis, tetapi arsitektur nilai—dengan keadilan, keberlanjutan, dan spiritualitas menjadi kerangka utama.

Baca juga : Rumah Tak Sekadar Meja

Pembangunan ideal bukan sekadar tentang apa yang dibangun, tapi bagaimana dan untuk siapa ia dibangun. Pemerintah seharusnya belajar dari proyek-proyek masa lalu yang gagal karena mengabaikan partisipasi warga dan dimensi kemanusiaan. Sebab dalam banyak kasus, kegagalan pembangunan bukan soal teknologi, tapi soal empati yang hilang dari proses.

READ  Golkar Jabar Kang Emil Baik Baik Saja Setelah Rumahnya Digeledah KPK

Jika proyek besar seperti waste-to-energy ingin disebut sukses, maka harus bisa menunjukkan bahwa ia membasuh penderitaan warga, bukan menambah luka mereka. Sebuah proyek harus bisa menyentuh rasa, bukan hanya angka. Dan nilai keadilan tidak bisa ditunda atas nama pertumbuhan ekonomi.

Baca juga : Utang Kepercayaan

Akhirnya, pembangunan yang bermartabat adalah pembangunan yang mampu merangkul bukan hanya ruang, tetapi juga nurani. Di sinilah ujian terbesar negara: bukan pada kemegahan proyeknya, tetapi pada jejak keadilan dan kasih yang ia tinggalkan di bumi yang dipijak bersama.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *