
BUDI RAHMAN HAKIM
RM.id Rakyat Merdeka – Ketika dokumen pemerintah mulai menyebut “Visi Kota 2045”, yang pertama tergambar di benak banyak warga adalah gedung tinggi dan jalan licin. Namun, bagi penghuni kampung padat di pinggir kali atau para pedagang kaki lima di bawah kolong flyover, kota bukanlah visi futuristik—melainkan tempat hidup yang setiap hari digusur perlahan. Kota membanggakan masa depan, tetapi sering melupakan masa kini.
Dalam banyak perencanaan tata kota, estetika sering kali jadi landasan, bukan etika. Kampung urban dianggap “tidak sedap dipandang” dan lalu disingkirkan dari narasi pembangunan. Seperti ditulis geografer urban Mike Davis dalam Planet of Slums (2006), kota modern kerap meminggirkan kelompok rentan demi wajah metropolis yang mengilap. Di Jakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya—kita menyaksikan pola yang serupa: relokasi atas nama revitalisasi, yang justru mendegradasi kehidupan.
Baca juga : Rumah Tak Sekadar Meja
Pembangunan kota juga menghadirkan bentuk baru dari kekerasan struktural: penggusuran yang dibungkus program, pembatasan ruang hidup dengan alasan penataan, dan digitalisasi layanan yang justru menyulitkan warga marjinal. Ironisnya, saat kota bicara inklusivitas, para penjaja kecil harus bersembunyi dari aparat, dan komunitas adat kota dipaksa pindah tanpa partisipasi bermakna. Kota menjadi megafon kuasa, bukan ruang dialog.
Menurut Urban Poor Consortium dan catatan Walhi, dalam lima tahun terakhir, setidaknya 1.200 keluarga di kota-kota besar mengalami relokasi paksa yang tidak melibatkan musyawarah setara. Bahkan, ketika dialog dilakukan, seringkali hanya bersifat sosialisasi satu arah—bukan negosiasi dua arah. Padahal dalam Right to the City (Henri Lefebvre), kota adalah milik bersama: ruang hidup, bukan ruang milik.
Visi Kota 2045 seharusnya tidak dibangun dari menara gading perencana, melainkan dari suara para penghuni jalan sempit dan gang sempit—yang selama ini menjadi denyut jantung kota. Tidak cukup bicara tentang transportasi ramah lingkungan dan kawasan futuristik, jika tidak ada ruang aman untuk anak-anak tumbuh di perkampungan. Pembangunan kota yang tak mengindahkan rasa, hanya akan menghasilkan kota yang dingin dan menjauhkan warganya dari martabat.
Kota yang adil adalah kota yang bisa membuat warga kecil merasa dihargai, bukan hanya dihitung. Setiap kebijakan kota harus melewati ujian nurani: apakah ia menambah kenyamanan semua, atau hanya segelintir? Apakah ia membuka peluang, atau justru menutup ruang hidup orang-orang yang selama ini menggantungkan harapan pada sisi-sisi pinggiran kota?
Baca juga : Ujian Makan Gratis
Jika negara ingin membangun kota masa depan, maka harus dimulai dari keberanian mendengar suara yang kerap diabaikan. Kota bukan hanya soal rencana induk—tetapi tentang perasaan memiliki. Dan ketika kota membuat sebagian warganya gentar, saat itulah kita harus bertanya: kota ini untuk siapa?
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.