Evaluasi Tanpa Rakyat

Nasional71 Dilihat


BUDI RAHMAN HAKIM

BUDI RAHMAN HAKIM

RM.id  Rakyat Merdeka – Akhir Oktober biasanya ditandai dengan evaluasi tahunan: masa sidang DPR menutup pembahasan RAPBN 2026, dan berbagai kementerian mengumumkan capaian serta koreksi program prioritas. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, evaluasi itu terasa jauh dari rakyat. Rapat digelar tertutup, laporan ditulis teknokratik, dan warga hanya jadi angka statistik. Yang terdengar adalah angka serapan dan indikator output, bukan suara mereka yang terdampak langsung.

Carol H. Weiss, dalam Evaluation: Methods for Studying Programs and Policies (1998), mengkritik pendekatan evaluasi yang hanya menyasar efisiensi administratif tanpa menyentuh dimensi partisipatif. Evaluasi, kata Weiss, bukan sekadar alat akuntabilitas vertikal, tetapi juga harus menjadi instrumen belajar kolektif antara negara dan masyarakat. Sayangnya, di negeri ini, rakyat jarang sekali menjadi bagian dari refleksi kebijakan yang menyangkut hidup mereka.

Baca juga : Politik Yang Menderas Ke Bawah

Banyak warga bahkan tidak tahu apakah evaluasi itu benar-benar dilakukan. Apakah mereka yang antre berjam-jam di puskesmas, gagal mendapatkan layanan pendidikan, atau terdampak pembangunan jalan tol, pernah dimintai testimoni? Ataukah mereka hanya menjadi “responden” dalam survei yang hasilnya ditafsirkan jauh dari konteks hidup mereka?

Negara yang mengabaikan suara warga dalam mengevaluasi kebijakan sebenarnya sedang menciptakan jarak moral dan politik. Evaluasi tanpa rakyat melahirkan bias struktural: laporan yang tampak bagus di atas kertas, namun kosong dari pengalaman konkret di lapangan. Ini bukan hanya persoalan teknis, tapi soal keberpihakan.

Baca juga : Birokrasi, untuk Siapa?

Dalam studi Bank Dunia berjudul Making Politics Work for Development (2016), dijelaskan bahwa evaluasi kebijakan publik yang partisipatif mendorong peningkatan kualitas layanan dan kepercayaan. Negara-negara yang membuka forum umpan balik warga secara reguler dan terdokumentasi justru lebih stabil secara sosial dan lebih sehat secara fiskal.

READ  Heboh Aliran Menyimpang Rukun Islam Ada 11 Kemenag Bilang Begini

Jika arah kebijakan tahun depan dirancang dari hasil evaluasi yang tidak mendengar jerit sunyi rakyat, maka besar kemungkinan akan terjadi salah langkah lagi. Kegagalan bukan dari niat, tapi dari metode yang tak menyentuh kenyataan.

Baca juga : Anggaran dan Empati

Oleh karena itu, negara harus membangun model evaluasi partisipatif yang bukan hanya formalitas. Ini berarti membuka ruang dengar yang sistematis—di desa, kota, hingga ruang daring—untuk mendengarkan mereka yang selama ini hanya diam. Evaluasi yang bermakna bukan diukur dari tebalnya dokumen, tapi dari dalamnya rasa yang didengar.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *