
Karawang, Propertyandthecity.com – Hari itu, halaman Pemkab Karawang terasa lebih berat dari biasanya. Di bawah langit mendung, beberapa warga berdiri sambil menggenggam map berisi kuitansi, screenshot WhatsApp, dan fotokopi perjanjian.
Di antara mereka ada Neneng, wajahnya lelah, tapi suaranya tegas. Enam tahun ia membawa mimpi tentang rumah syariah yang ditawarkan seorang camat bernama CT. Enam tahun pula ia menunggu tanpa satu bata pun berdiri di atas lahan yang dijanjikan.
Ia bercerita, semuanya dulu terdengar begitu meyakinkan. Skema syariah tanpa bank, pembayaran bertahap hingga lunas, dan janji pembangunan segera dimulai. “Tapi pondasi saja tidak ada,” ucapnya lirih. Setiap kali ia datang ke kantor kecamatan untuk mencari CT, ruang itu sering kosong. Telepon tak diangkat, pesan diabaikan. Sementara tabungan yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun telah berpindah tangan.
Di sampingnya, Nadila menggenggam map yang warnanya mulai pudar. Ia ingat bagaimana CT menjanjikan pengembalian uang dicicil Rp1 juta per bulan mulai Juni—sebuah janji yang tak pernah menjadi nyata. “Sampai November, sepeser pun tidak ada. WA cuma dibalas alasan,” katanya.
Dari 32 warga yang menjadi korban, hanya 19 yang masih bertahan memperjuangkan pengembalian dana. Sebagian telah menyerah karena lelah, sebagian lagi pasrah berharap keajaiban. Total kerugian Rp1,23 miliar itu bukan sekadar angka. Itu tabungan pernikahan, gaji bulanan yang disisihkan sedikit demi sedikit, bahkan ada yang menjual motor demi uang muka.
Aroma ketidakpastian itu akhirnya sampai ke telinga pemerintah. Bupati Karawang, Aep Syaepuloh, menegaskan bahwa ASN yang menyalahi aturan tidak akan dilindungi. Di BKPSDM, CT dipanggil dan diminta menjelaskan.
“Yang bersangkutan mengakui punya usaha perumahan dan sedang bermasalah,” kata Kepala BKPSDM, Jajang Jaenudin.
CT menandatangani surat pernyataan: ia berjanji menyelesaikan seluruh tuntutan konsumen maksimal akhir Desember 2025. Janji yang bagi sebagian korban terasa seperti deja vu—harapan yang sudah terlalu sering mereka dapatkan, tapi tak pernah mereka lihat wujudnya.
Di tengah kisah ini, ada sebuah pertanyaan yang terus menggantung: bagaimana mungkin seorang pejabat publik, seseorang yang seharusnya menjaga warganya, malah justru membuka pintu bagi kerugian sebesar ini?
Baca Juga: Program Renovasi Rumah Dinilai Lambat, DPR Minta Proses Dipermudah dan Cepat
Kasus ini akhirnya menjadi cermin bahwa skema rumah syariah tanpa pengawasan ketat dapat berubah menjadi jebakan. Dan bagi warga Karawang, mimpi memiliki rumah pertama berubah menjadi perjalanan panjang mencari keadilan.
Mereka tetap menunggu. Bukan lagi menunggu rumah yang tak pernah terbangun, tetapi menunggu kepastian bahwa negara hadir, bahwa jabatan tak boleh menjadi alat memperdaya, dan bahwa setiap rupiah yang mereka kumpulkan kembali ke tangan yang berhak. (*)
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/enam-tahun-menunggu-rumah-yang-tak-pernah-ada-kasus-penipuan-hunian-syariah-di-karawang/











