Dukungan Keluarga dan Kesehatan Mental, Fondasi Resiliensi Anak

Nasional40 Dilihat


RM.id  Rakyat Merdeka – Dharmaila Center menggelar rangkaian kegiatan Hari Kesehatan Mental Sedunia dengan tema “Bertahan, Beradaptasi, Bangkit”, di Neha Hub, Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (12/10/2025).

Puluhan orang, baik anak-anak, orang tua, mahasiswa, pegiat komunitas, pegiat literasi, praktisi pendidikan, dan seniman, secara khidmat mengikuti rangkaian kegiatan tersebut.

Rangkaian kegiatan terlaksana berkat dukungan lintas komunitas, seperti ANAHATA, Somayogini, Journey to Sense, Gabriel Mayo & Ruth Priscilla, Safira Dinda, dan Jennifer Agrilla, Rumah Lansia.

Juga, Pengurus Cabang ’Aisyiyah Bojongsari dan Cinere, serta jejaring seniman, pendidik, dan berbagai pegiat.

Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober. Tema “Bertahan, Beradaptasi, Bangkit” lahir dari riset dan kerja lapangan Profesor Maila Dinia Husni Rahiem tentang resiliensi anak-anak (27 anak) penyintas tsunami dan gempa Aceh 2004 menghadapi masa krisis, pulih setelahnya, dan terus tumbuh hingga kini.

Dari temuan tersebut, resiliensi dirumuskan menjadi tiga makna inti, yakni bertahan berarti menjaga nyala harapan dan rasa aman.

Lalu, beradaptasi berarti menata diri sesuai situasi yang berubah, serta bangkit berarti melaju lebih tinggi setelah belajar dari pengalaman.

Tiga kata ini menjadi penuntun “sederhana” bagi orang tua dan guru untuk mendidik anak dalam keseharian di rumah dan di kelas.

Profesor Maila merupakan Peneliti Utama Dharmaila Center sekaligus guru besar pendidikan anak usia dini dan kesejahteraan sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Profesor Maila juga merupakan ilmuwan Indonesia bertaraf global yang tiga tahun beruntun (2023–2025) masuk kategori Top 2 persen Scientists Worldwide yang dirilis oleh Stanford University, Amerika Serikat dan Elsevier.

Ada beragam aktivitas dalam rangkaian Hari Kesehatan Mental Sedunia yang dihelat Dharmaila Center.

Mulai dari talkshow, penampilan musik, pembacaan cerita dan dongeng, latihan napas sadar, pameran karya, fotografi, fesyen, jelajah kesadaran, hingga peluncuran tiga buku cerita anak usia 3–7 tahun karya Profesor Maila.

Ketiganya berjudul “Kimo, Monyet Kecil yang Berani”, “Piko Belajar Mencari Makan”, dan “Jessie, Penjaga Kebun Kecil”.

Baca juga : Djarum Foundation dan PSSI Gelar Pelatihan dan Sertifikasi Lisensi D Nasional

Pada sesi jelajah kesadaran, cerita anak dipadukan dengan gerak tubuh dan latihan napas. Peserta diajak berlatih “Napas Kimo” untuk menenangkan ritme tubuh, merasakan tubuh “menyusut dan mengembang” agar peka pada perubahan rasa, memasuki hening sejenak untuk menata pikiran dan tubuh.

READ  HP Belum Ditemukan, CCTV, WA Hingga Autopsi Jadi Kunci Pembuktian Kematian Arya

Lalu, menutup sesi dengan penataan napas dan tubuh agar energi terasa rapi dan muncul kembali rasa aman. Tujuannya sederhana membantu tubuh kembali ke titik netral, sehingga peserta pulang lebih tenang dan kuat.

Khusus untuk sesi talkshow, tampil dua narasumber utama berbagi pengalaman dan pengetahuan, yaitu Profesor Maila Dinia Husni Rahiem dan Profesor Lysann Zander.

Profesor Lysann adalah profesor riset pendidikan empiris di Leibniz Universität Hannover, Jerman sekaligus peneliti emosi, interaksi sosial, dan motivasi belajar.

Di luar kampus, Lysann merupakan musisi profesional yang berkarya dalam proyek musik Stereofysh bersama saudaranya, Gunnar Zander.

“Tujuan acara ini adalah untuk mengajak publik membangun kesadaran untuk saling mendukung sebagai kunci kesehatan mental dalam keluarga, sekolah, dan komunitas,” ujar Direktur Eksekutif Dharmaila Center, Supriyanto, di lokasi acara.

Sehatkan Mental, Perkuat Resiliensi

Kolaborasi lintas negara Antara Profesor Maila Dinia Husni Rahiem bersama Profesor Lysann Zander telah melahirkan artikel “Feeling seen matters: how organization-based self-esteem mediates the relationship between university students’ coping resources and thriving in Germany, Indonesia, and the United Arab Emirates” yang terbit di Frontiers in Psychology pada 10 September 2025.

Temuan utamanya yakni ketika mahasiswa merasa diakui dan dihargai, maka sumber daya koping yang mereka miliki (seperti rasa mampu belajar dan rasa memiliki) lebih efektif berubah menjadi “thriving” atau energi positif untuk terus belajar dan bertumbuh meski menghadapi tekanan.

Pola ini konsisten di tiga negara dan sejalan pada laki-laki maupun perempuan. Profesor Maila dengan lugas menuturkan, riset menunjukkan bahwa 55 persen depresi bisa dikurangi dan diturunkan jika seseorang mendapatkan sosial yang memadai dari masyarakat dan lingkungan sekitar termasuk keluarga dan guru.

Bahkan, ketika dukungan emosional, informasional, interaksi positif, serta bantuan nyata hadir bersamaan, peluang depresi dapat turun jauh lebih besar (Choi dkk., 2023; Gariépy, Honkaniemi, & QuesnelVallée, 2016).

Menurut Profesor Maila, peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia setiap 10 Oktober pun menguatkan pesan penting tersebut sebagaimana dilansir World Health Organization (2025).

“Selama ini masyarakat kita belum secara terbuka berbicara tentang kesehatan mental. Nah dengan kegiatan ini dengan tema “Bertahan, Beradaptasi, Bangkit”, kita ingin anak-anak kita memiliki kesehatan mental dengan menumbuhkan resiliensi,” ujar Profesor Maila.

Dia menjelaskan, resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan, tetap menyalakan api harapan, beradaptasi menggunakan apa yang ada dalam diri untuk fleksibel dan menyesuaikan diri, dan kemudian bangkit untuk menjadi lebih baik.

READ  Pemanfaatan Bantuan Buku dari Perpusnas Perkuat Literasi Masyarakat

Baca juga : Dua Langkah Lagi, Garuda Mentas Di Piala Dunia

Definisi resiliensi tersebut dirumuskan Profesor Maila berdasarkan pada riset yang dulu ia lakukan terhadap 27 anak penyintas tsunami dan gempa Aceh 2004.

Riset lintas negara yang dilakukan bersama Profesor Lysann pun diimplementasikan dengan memperluas eksplorasi ke ranah seni untuk menumbuhkan pengalaman “merasa dilihat” lintas budaya.

Bukan semata di kelas, tetapi juga di ruang komunitas, keluarga, dan panggung publik.

“Tujuannya sederhana dan kuat, yaitu meningkatkan rasa aman psikologis, efikasi diri, dan resiliensi yang dapat dirasakan langsung oleh anak, remaja, dan dewasa muda dalam beragam konteks,” ungkapnya.

Ia mengaku akan terus menyuarakan dan menyalakan harapan agar anak-anak memiliki resiliensi. Utamanya, resiliensi secara mental dengan anak memiliki kesadaran, kemampuan bertahan dalam situasi yang sulit.

Kemudian, kemampuan terus menyalakan harapan, tetap berpikir positif bahwa akan ada kebaikan setelah segala kemalangan terjadi, bisa menyesuaikan diri dengan apa yang mereka miliki, hingga kemudian bangkit menjadi lebih baik di masa depan.

Profesor Maila mencontohkan, seorang anak korban perundungan (bullying) sebenarnya bisa menumbuhkan resiliensi dalam dirinya.

Anak tersebut, dengan energi dan pikiran positif mendorong dirinya dan menyalakan api harapan bahwa dia harus bisa tidak menjadi korban lagi.

Anak tersebut kemudian beradaptasi dengan cara bahwa dia tidak mau menjadi korban perundungan lagi, maka dia harus berani bersikap dan bersuara kepada temannya yang melakukan perundungan, melapor kepada guru, dan melapor kepada orang tua.

“Melapor kepada guru dan melapor kepada orang tua itu adalah proses adaptasi dan proses menyelamatkan diri agar tidak terjadi lagi bullying,” tuturnya.

Sementara Profesor Lysann Zander berbagi gagasan tentang cara mengubah situasi menantang menjadi kekuatan kreatif.

Ia menautkan pengalamannya dalam melukis dan dua dekade menulis lagu untuk menekankan pentingnya keheningan, kejujuran dalam mendengarkan diri sendiri, dan tindakan kecil yang dilakukan secara rutin baik sendiri, bersama orang tepercaya, maupun dalam kelompok.

Profesor Lysann juga mengajak para peserta mencoba latihan singkat, memahami bagaimana kebiasaan melatih diri membangun resiliensi, serta diingatkan untuk merawat tubuh sebagai “instrumen pertama”.

Baca juga : Kemenag Luncurkan Modul Kesehatan Reproduksi Remaja Berbasis Islam

READ  Andi Gani Minta Polisi Usut Dugaan Penabrakan Buruh Oleh Anggota DPRD

Baginya, sesi ini mengundang ekspresi autentik dan kesaksian komunitas tanpa perlu mengejar kesempurnaan. “Praktik sederhana dan konsisten dapat mentransformasikan frustrasi, duka, dan rasa takut menjadi koneksi dan ketenangan,” kata Profesor Lysann.

Tiga Buku, Satu Anyaman

Profesor Maila Dinia Husni Rahiem menuturkan, tiga buku cerita anak karyanya lahir dari perhatian yang sederhana, yakni anak belajar paling baik ketika kata berubah menjadi gerak, napas berubah menjadi tenang, dan pengalaman berubah menjadi makna.

Ia merancang Kimo, Jessie, dan Piko sebagai satu anyaman yang memupuk keberanian, kemandirian, dan kegembiraan yang dirawat sehari-hari yang menjadi tiga jalur kecil menuju resiliensi dan thriving.

Jika disatukan, kata Profesor Maila, ketiga cerita ini bekerja seperti tiga benang yang saling menguatkan. Kimo menata keberanian agar anak berani mencoba lagi ketika takut.

Piko melatih kemandirian yang bertanggung jawab dengan melangkah kecil namun konsisten sembari tetap terhubung.

Jessie merawat kegembiraan yang stabil melalui ritme harian yang hangat. Jembatan bersama di antara ketiganya adalah napas: satu tangan di dada, satu di perut, hitung pelan, hembus lebih panjang.

“Ketika orang dewasa membacakan dengan prosodi hangat dan jeda yang pas, terjadi coregulation, ketenangan orang dewasa menular ke anak. Lama-lama, ketenangan itu menjadi milik anak sendiri,” kata Profesor Maila.

Ia berpandangan, bagi anak sebenarnya pola yang terduga menghadirkan rasa aman. Karena itu, kalimat yang ia pergunakan berbentuk pendek, berirama, dan memakai mantra tiga kata.

Onomatope kecil berupa “deg-deg”, “kepak”, dan “hap” pun membuat kata terasa di tubuh. Napas menjadi jembatan dari kognitif ke pengalaman.

Bagi Profesor Maila, ketika orang dewasa membaca dengan prosodi hangat dan jeda teratur, maka sistem saraf anak mengikuti.

“Cerita yang kita perkenalkan hari ini ibarat cara sederhana untuk mengenalkan atau mengajarkan secara dini kepada anak-anak dengan harapan menjadi co-regulation yang pelan-pelan tumbuh menjadi self-regulation,” tandas Profesor Maila.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *