Capres Minimal Harus Sarjana Ditolak MK

Nasional193 Dilihat



RM.id  Rakyat Merdeka – Gugatan syarat pendidikan capres dan cawapres minimal harus sarjana alias lulusan S1, ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan begitu, syarat pendidikan capres-cawapres tidak berubah, yaitu minimal lulusan SMA atau sederajat. 

Gugatan ini diajukan konsultan hukum Hanter Oriko Siregar dan mahasiswa Horison Sibarani. Keduanya menguji konstitusionalitas Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pemohon meminta MK memberikan tafsir baru atas pasal tersebut dengan menambahkan frasa “lulusan S1 atau yang sederajat”. Namun, MK menilai, permintaan ini justru mempersempit hak warga negara untuk dipilih dalam Pemilu.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan amar putusan perkara Nomor 87/PUU-XXIII/2025 dalam Sidang Pleno, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (17/7/2025).

MK juga memandang, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Sehingga permohonannya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Baca juga : Lawan Saudi dan Irak di Putaran Empat Piala Dunia, Garuda Tidak Gentar

Meski menilai tak ada masalah konstitusional dalam pasal itu, MK tak menutup ruang jika pasal itu diubah DPR. MK menyerahkan pertimbangan perlu tidaknya pasal diubah ke lembaga pembentuk undang-undang (UU).

“Bilamana diperlukan, pembentuk undang-undang dapat mengkaji kembali perihal persyaratan batasan pendidikan paling rendah/minimum bagi capres dan cawapres,” ucap Suhartoyo.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menegaskan, ketentuan dalam Pasal 169 huruf r UU Pemilu tidak membatasi partai politik untuk mencalonkan figur dengan latar belakang pendidikan lebih tinggi. Dengan demikian, norma tersebut bersifat inklusif dan tetap memberikan ruang seleksi politik oleh partai maupun publik.

“Jika syaratnya diubah menjadi S-1, maka calon hanya terbatas pada yang bergelar sarjana. Padahal lulusan SMA pun tetap memiliki hak yang setara untuk dicalonkan,” ujar Ridwan.

READ  Apakah Besok Akan Hujan Di Bekasi Sabtu 26 4 Begini Prakiraan BMKG Terbaru

Dia menambahkan, secara empirik, sejak Pemilu 2004, mayoritas Capres-Cawapres yang diusung partai politik telah memiliki pendidikan lebih tinggi dari SMA. Karena itu, argumentasi pemohon dianggap tidak berdasar.

Baca juga : Manfaatnya Lebih Banyak, Mudaratnya Lebih Kecil

MK juga menyatakan, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 tidak mengatur batas minimal pendidikan capres-cawapres. Pasal 6 ayat (2) menyerahkan pengaturannya kepada UU. Sehingga, pembentuk UU memiliki kewenangan untuk menyesuaikan ketentuan tersebut berdasarkan dinamika dan kebutuhan nasional.

“Bilamana dibutuhkan, pembentuk undang-undang dapat meninjau ulang ketentuan ini untuk menetapkan standar pendidikan yang ideal, demi kepentingan terbaik bangsa dan negara,” ucap Ridwan.

Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf menyambut baik putusan MK ini. Dia menegaskan, secara konstitusional, tidak ada kewajiban bagi capres-cawapres untuk berpendidikan sarjana. Dede menegaskan, prinsip demokrasi harus menjamin keterbukaan dan inklusivitas tanpa diskriminasi terhadap latar belakang pendidikan.

“Bahkan di berbagai negara maju juga tidak ada. Ini agar tidak ada diskriminasi terhadap semua elemen masyarakat untuk mencalonkan atau dicalonkan,” ucap politisi Partai Demokrat ini.

Namun, dia menekankan pentingnya norma politik yang mempertimbangkan kualitas kepemimpinan. Terutama di tengah upaya peningkatan standar pendidikan nasional.

Baca juga : Potret Pertahanan Maritim Jepang Dari Destroyer Bulan Bercahaya

Selain pendidikan, lanjut Dede, seorang capres dan cawapres juga perlu memiliki rekam jejak yang baik dalam manajemen, kepemimpinan organisasi, serta kemampuan menghadapi krisis. “Apalagi ini menyangkut wajah negara kita di mata internasional. Sangat wajar jika kita menginginkan standar pendidikan pemimpin kita juga tidak kalah di mata dunia,” tegasnya.

Pakar hukum tata negara Radian Syam juga memandang, putusan MK menolak permohonan uji materi terkait syarat pendidikan capres-cawapres adalah langkah tepat. Putusan ini sejalan dengan prinsip demokrasi dan semangat konstitusi.

READ  Muhammadiyah-Turki Perkuat Kerja Sama Ekonomi hingga Pertahanan

“Putusan ini menegaskan bahwa pembentukan norma baru bukanlah kewenangan Mahkamah Konstitusi, melainkan menjadi domain pembentuk undang-undang, yaitu DPR,” ujar Radian kepada Rakyat Merdeka, Kamis (17/7/2025).

Menurut Radian, dalam negara demokratis, kualitas kepemimpinan memang penting. Namun, menambahkan syarat pendidikan formal berupa ijazah sarjana justru bisa membatasi hak konstitusional warga negara. Bahkan, berpotensi menjadi bentuk diskriminasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai konstitusi.

“Demokrasi tidak boleh dikecilkan maknanya hanya karena faktor administratif seperti ijazah. Rakyatlah yang menjadi penentu akhir kelayakan dan kapabilitas pemimpin melalui mekanisme Pemilu,” pungkas Radian.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *