Bukan Sekadar “Angka Miskin”

Nasional27 Dilihat


SUPRATMAN

SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka – Standar garis kemiskinan akan direvisi. Itu janji Badan Pusat Statistik (BPS). Kalau selama ini batasnya sekitar 20.000 rupiah per hari per orang, nantinya batas itu akan naik.

Standar kemiskinan yang dipakai Indonesia sekarang, memang sudah lama. Sejak 1998. Revisi tersebut bisa membuat jumlah orang miskin di Indonesia akan bertambah. Karena, standar Rp 20.000 sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang.

Meski kurang enak didengar, dengan kondisi kemiskinan yang mutakhir, berbagai kebijakan bisa dirancang lebih tepat sasaran. Lebih fokus kepada kelompok yang sangat membutuhkan. Alokasi anggaran juga bisa lebih efektif dan selektif.

Akuntabilitas, transparansi serta akurasi juga pasti lebih baik. Selama ini, ada “kebiasaan” di daerah: kalau mau dapat anggaran banyak, naikkan jumlah orang miskin. Kalau mau menonjolkan keberhasilan, turunkan angka kemiskinan. Angkanya bisa naik-turun, seperti harga sembako.

Baca juga : Kopi Keadilan

Ada saran supaya Indonesia sedikit menyesuaikan dengan standar Bank Dunia. Batas kemiskinan Bank Dunia memang cukup tinggi, sekitar 100.000-an per hari per orang.

Saran itu antara lain datang dari Dewan Ekonomi Nasional (DEN). DEN mengusulkan “jalan tengah” yakni sekitar Rp765.000 per bulan per orang. Lebih tinggi dari standar BPS.

Namun, yang tak kalah pentingnya, kemiskinan bukan sekadar statistik atau grafis. Kemiskinan adalah isu kemanusiaan dan sosial yang kompleks. Lintas sektoral. Berkelanjutan.

Kemiskinan bukan sekadar berapa garis batasnya. Karena, kalau pun sudah melewati batas garis kemiskinan, dengan menggunakan versi mana pun, tapi masih harus pusing memikirkan anak yang terancam putus sekolah, itulah realitas yang sesungguhnya.

Baca juga : Ramuan Anti Vampir

Menggunakan standar apa pun, kalau masih mencari jalan instan untuk keluar dari jerat kemiskinan lewat judol dan pinjol, itulah gambaran dan fakta pahit yang sesungguhnya.

READ  Garuda Muda Menang Tapi Tumpul

Namun, inilah hebatnya kebanyakan orang Indonesia. Selalu punya prinsip: walau diterpa kesulitan masih bisa mengucapkan “untungnya…”. Selalu ada untung. Selalu bisa mengambil hikmah. Kondisi sulit sekali pun, masih bisa disembunyikan dengan senyum.

Tapi, jangan salahgunakan kebaikan rakyat tersebut. Rakyat tetap harus dimanusiakan. Rakyat bukan sekadar “miskin atau tidak miskin secara grafik” melainkan secara riil bisa merdeka dari segala bentuk kemiskinan.

Jika kemiskinan lebih mengedepankan angka, maka persoalan dan dimensi manusiawinya bisa terabaikan. Selain itu, akan lahir kebijakan-kebijakan menarik hanya di atas kertas. Minim empati. Tidak membumi. Tidak menyentuh akar masalah.

Baca juga : Belajar Dari Panggung Hiburan

Kita mengapresiasi misalnya kebijakan Makan Bergizi Gratis yang fokus dan tepat sasaran. Demikian pula dilahirkanya sekolah rakyat. Kebijakan semacam ini perlu lebih diperluas, dicermati, didalami dan diseriusi.

Karena itu, apa dan berapa pun standar yang dipakai, kemiskinan harus didekati secara manusiawi, sistemik, menyeluruh dan berjangka panjang. Tidak terjebak pada angka-angka. Tidak sekadar bantuan insidental.

Artikel ini tayang di Harian Rakyat Merdeka Cetak, Halaman 1 & 6, edisi Minggu, 27 Juli 2025 dengan judul “Bukan Sekadar “Angka Miskin””


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *