April Surplus Rp 4 T, Mei Defisit Rp 21 T

Nasional8 Dilihat



RM.id  Rakyat Merdeka – Kondisi APBN 2025 masih naik turun. April lalu, APBN surplus Rp 4 triliun. Tapi, Mei mengalami defisit Rp 21 triliun.

Defisit terjadi karena pendapatan negara lebih rendah dibandingkan realisasi belanja negara. Sampai Mei 2025, pendapatan negara terkumpul Rp 995,3 triliun atau 33,1 persen dari target APBN 2025. Di saat yang sama, belanja negara hingga Mei 2025 mencapai Rp 1.016,3 triliun atau setara 28,1 persen dari pagu yang ada dalam APBN 2025.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memaparkan, terjadi defisit Rp 21 triliun ini setara 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi ini terjadi lantaran ada upaya menjaga perekonomian nasional.

Defisit APBN bertujuan untuk counter cyclical, sehingga perekonomian yang tertekan bisa di-counter APBN. Sehingga pelemahannya tidak berdampak signifikan pada ekonomi dan masyarakat,” terangnya, dalam konferensi pers APBN Kita, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Meski defisit, Sri Mulyani memastikan, APBN masih sesuai dengan arah kebijakan keuangan tahun ini. Apalagi, defisit ini masih jauh dari batas yang ditentukan dalam APBN 2025 yang mencapai Rp 616 triliun atau 2,53 persen dari PDB.

Sri Mulyani lalu merinci pendapatan yang masuk sebesar Rp 995,3 triliun. Pendapatan tersebut berasal dari pajak Rp 683,3 triliun, bea dan cukai Rp 122,9 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 188,7 triliun.

Baca juga : Sita Uang Korupsi 11,8 T, Kejagung Makin Harum Namanya

Realisasi penerimaan negara dari April ke Mei naik sekitar Rp 185 triliun, dari Rp 810 triliun menjadi Rp 995 triliun. “Kita berharap (ada) akselerasi perkembangan pendapatan negara,” ucap Sri Mulyani.

READ  Di Ruang Sahabat Mahfud MD Dahlan Iskan Ungkap Cerita Di Balik Konvensi Capres Demokrat 2014

Untuk belanja negara hingga Mei 2025, Rp 1.016,3 triliun. Rinciannya, belanja Pemerintah Pusat Rp 694,2 triliun atau setara 25,7 persen, dan Transfer ke Daerah (TKD) Rp 322 triliun atau setara 35 persen dari pagu APBN 2025.

Sri Mulyani mengungkapkan, keseimbangan primer APBN hingga Mei 2025 masih surplus Rp 192,1 triliun. Angka ini lebih tinggi dari April 2025 yang sebesar Rp 173,9 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menambahkan, penerimaan pajak neto hingga Mei sebesar Rp 683,26 triliun. Realisasi ini turun 10,13 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, mencapai Rp 760,4 triliun.

Meski turun, Anggito menegaskan, angka penerimaan neto tidak mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia secara langsung. “Neto itu adalah bruto dikurangi restitusi yang merupakan kewajiban pada waktu jatuh tempo,” terangnya.

Penerimaan pajak neto dihitung dari total bruto dikurangi restitusi yang dibayarkan negara kepada wajib pajak. Besarnya restitusi turut memengaruhi sejumlah jenis pajak yang mengalami penurunan.

Baca juga : Berantas Koruptor, Bintang Sembilan Optimis Pemerintah Tak Tebang Pilih

Dalam paparannya, Pajak Penghasilan (PPh) non-migas secara neto tercatat Rp 420 triliun atau turun 5,4 persen secara tahunan. Sedangkan penerimaan neto dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) menyusut menjadi Rp 237,9 triliun, atau terkontraksi 15,7 persen. Hanya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya yang mencatatkan kenaikan tipis, yakni Rp 5,94 triliun atau tumbuh 0,8 persen.

Di sisi lain, penerimaan pajak bruto justru mencatatkan pertumbuhan. Hingga akhir Mei 2025, total penerimaan pajak secara bruto mencapai Rp 895,77 triliun, atau naik tipis 0,12 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 897 triliun.

READ  Mantul, Jumlah Investor Pasar Modal Tembus 16,2 Juta

Rinciannya, PPh non-migas bruto mencapai Rp 479,99 triliun atau naik 1,0 persen. Lalu, PPN dan PPnBM mencapai Rp 390,29 triliun atau tumbuh 0,8 persen. Sedangkan PBB dan pajak lainnya tercatat Rp 5,16 triliun atau meningkat 2,0 persen.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, defisit pada Mei terjadi karena dua hal. Pertama, akselerasi belanja yang lebih besar dari April.

“Hal ini selaras dengan mulai dibukanya keran belanja anggaran yang sempat disesuaikan atau ditahan imbas kebijakan penghematan anggaran di awal tahun,” ulasnya, saat dihubungi Rakyat Merdeka, Selasa (17/6/2025) malam.

Kedua, realisasi penerimaan negara belum bisa keluar dari tren negatif yang sebenarnya sudah terlihat dari bulan-bulan sebelumnya. “Jadi, surplus akhirnya tidak bisa dipertahankan,” imbuhnya.

Baca juga : Blokir 2 Juta Situs, Kemenkomdigi Lindungi Anak-Anak Dari Judol

Yang perlu digarisbawahi, lanjut Yusuf, adalah realisasi belanja secara tahunan masih lebih lambat jika dibandingkan periode Januari-Mei 2024. Kondisi ini membuat Pemerintah harus mempercepat realisasi belanja. Apalagi jika dikaitkan dengan upaya mengaktifkan kembali kebijakan fiskal sebagai salah satu stimulus untuk mendorong kinerja perekonomian yang saat ini tengah melambat.

Selain itu, Yusuf juga menyarankan Pemerintah mengantisipasi efek dari eskalasi geopolitik antara Israel dan Iran. Utamanya terhadap sejumlah asumsi makro, seperti perubahan pada harga minyak internasional dan pergerakan nilai tukar rupiah.

“Proses antisipasi atau mitigasi, termasuk di dalamnya melihat kembali prioritas belanja dan mempertimbangkan bagaimana mengalokasikan belanja pada pos-pos yang dirasa lebih penting untuk dialokasikan di tengah kondisi saat ini,” pungkasnya.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

READ  Reshuffle Kabinet Di Hari Ke 122 Prabowo Akan Terus Evaluasi Para Menteri





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *