
BUDI RAHMAN HAKIM
RM.id Rakyat Merdeka – Jika negara gagal memenuhi janji dasarnya—melindungi dan melayani rakyat—yang tertinggal bukan hanya luka, tapi juga utang. Bukan utang fiskal, melainkan utang kepercayaan yang tak terhitung di dalam neraca APBN. Beberapa insiden dalam pelaksanaan program makan gratis hanyalah puncak dari gunung es krisis layanan publik: dari antrean rumah sakit yang menjulur tanpa jaminan, hingga sekolah-sekolah yang bekerja dengan dana seadanya.
Negara memang telah menyusun program, dari kartu-kartu bantuan sosial hingga subsidi kesehatan. Tetapi, warga tidak hanya menilai dari ada atau tidaknya program, melainkan dari bagaimana program itu berjalan. Bila pelaksanaan tidak menyentuh rasa keadilan dan martabat, maka program sebesar apapun akan menjadi proyek kosong. Sebagaimana diingatkan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), “Pembangunan sejati bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang memperluas kemampuan hidup bermartabat”.
Baca juga : Ujian Makan Gratis
Setiap kegagalan layanan publik adalah luka kolektif—dan sekaligus utang moral negara kepada warganya. Ketika masyarakat kecil harus berjuang sendiri di tengah birokrasi lamban, mereka tidak hanya kehilangan harapan, tapi juga mulai menarik mundur kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu mengering, tak ada stimulus atau bantuan yang cukup untuk menggantikan yang hilang: rasa dilindungi.
Sayangnya, dalam banyak kasus, jawaban negara atas keluhan rakyat masih teknokratik: audit internal, penyempurnaan SOP, dan jargon-jargon efisiensi. Padahal warga tidak menuntut kesempurnaan, mereka hanya butuh kesungguhan. Butuh negara yang mendengar, yang hadir bukan hanya dalam pidato, tapi juga dalam antrean panjang, di sekolah rusak, dan ruang IGD yang sesak.
Baca juga : Negara, Menimbang Rasa
Untuk membayar utang kepercayaan itu, negara tak cukup hanya memperbaiki sistem. Ia harus juga membangun kembali jembatan nurani—dengan transparansi, akuntabilitas, dan sanksi nyata pada yang abai. Sebab, seperti ditulis Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), kepercayaan adalah modal sosial yang tak tergantikan. Sekali rusak, biaya pemulihannya jauh lebih mahal dari nilai proyek itu sendiri.
Kini, setiap proyek sosial baru membawa beban ganda: tugas pelaksanaan dan tugas pemulihan kepercayaan. Bila negara tak menyadari ini, maka semua inisiatif akan dipandang sinis, diliputi skeptisisme. “Berapa lama lagi ini bertahan?” menjadi pertanyaan sunyi yang menggantung dalam benak warga.
Baca juga : Kepemimpinan Yang Membasuh Bumi
Mungkin yang dibutuhkan saat ini bukan program tambahan, tapi pertobatan administratif. Bahwa setiap pelayanan publik harus kembali pada asalnya: membasuh, bukan melukai. Dan bahwa dalam demokrasi, kekuasaan tak hanya diuji di bilik suara—tapi juga di antrean layanan sosial yang tak kunjung manusiawi.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.