Salah Asuh, Salah Tonton, Salah Sistem

Nasional1 Dilihat


Dr. Devie Rahmawati


Dr. Devie Rahmawati

Pengamat Sosial

RM.id  Rakyat Merdeka – Peristiwa memilukan di Bekasi, ketika seorang anak muda menganiaya ibu kandungnya hanya karena tidak diberi uang, bukan sekadar insiden domestik. Ini adalah alarm sosial yang nyaring tentang krisis dalam pola pengasuhan dan budaya digital kita.

Aksi yang terekam kamera CCTV itu menggemparkan publik—namun yang lebih mengkhawatirkan adalah akar persoalannya: anak muda yang kehilangan empati, tak tahan frustrasi, dan permisif terhadap kekerasan.

Permissive Parenting (Pola Asuh Memanjakan): Sayang Anak yang Salah Arah

Orang tua yang bermaksud baik—ingin memberikan kasih sayang dan kebebasan—sering terjebak dalam pola asuh permisif (memanjakan). Dalam gaya ini, orang tua lebih banyak memberi daripada membimbing, lebih sering memaklumi daripada membatasi. Dalam jangka pendek, hubungan tampak harmonis. Namun jangka panjangnya? Anak tumbuh tanpa kendali diri, tanpa kemampuan menerima penolakan, dan tanpa empati.

Penelitian Abdullah & Salim (2020) menunjukkan, gaya pengasuhan permisif berkorelasi negatif signifikan dengan tingkat empati anak. Semakin permisif gaya asuh, semakin rendah empati anak. Empati yang rendah ini menjadi fondasi rapuh bagi perilaku agresif.

Lebih lanjut, riset dari Bangladesh (Muhammad et al., 2021) mengonfirmasi bahwa gaya pengasuhan permisif dan otoriter sama-sama memiliki korelasi positif dengan agresivitas anak. Bahkan gaya otoriter menjadi prediktor paling kuat agresi fisik dan verbal pada anak. Anak yang dibesarkan tanpa batas dan tanpa kontrol emosi akan mencari solusi tercepat: kekerasan.

Anak Belajar Kekerasan dari Layar

Baca juga : Sukseskan Kopdes Merah Putih, Kemenkop Tandatangani Pakta Integritas Anti-Korupsi

Bahaya terus hadir dari rumah. Studi dari American Psychological Association (2015) menunjukkan, paparan media digital yang mengandung kekerasan (termasuk video, game, atau prank ekstrem) secara signifikan meningkatkan perilaku agresif pada remaja. Efek ini bersifat kumulatif dan desensitizing—anak tidak lagi melihat kekerasan sebagai sesuatu yang salah.

READ  PKS Tetapkan Ketua Majelis Syura Dan Presiden Periode 2025-2030

Studi dari Xinran Ma (2024) dalam Journal of Education, Humanities and Social Sciences menegaskan, anak yang secara rutin terpapar konten animasi dan media elektronik yang mengandung kekerasan menunjukkan:

  • Peningkatan agresivitas verbal dan fisik
  • Penurunan perilaku prososial & kemampuan adaptasi sosial

Peneliti mencatat bahwa bahkan setelah dikontrol dari latar belakang keluarga, anak-anak yang terpapar kekerasan media antara usia 6–9 menunjukkan tingkat agresivitas yang lebih tinggi 15 tahun kemudian. Ini membuktikan bahwa pengaruh media kekerasan bersifat jangka panjang dan merusak secara psikologis.

Model Social Learning Theory dari Bandura (1977) memperkuat hal ini: anak meniru apa yang mereka lihat. Jika yang mereka lihat setiap hari adalah kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik, maka kekerasanlah yang mereka jadikan solusi saat emosi memuncak. Di era TikTok dan YouTube Shorts, tayangan semacam itu tak lagi sulit diakses—dan ironisnya, sering disukai dan dibagikan.

Kombinasi Mematikan: Memanjakan + Memfotokopi Tayangan Digital

Ketika anak diasuh dengan gaya permisif di rumah, lalu dicekoki tayangan tidak bergizi seperti kekerasan, setiap hari, maka dua hal terjadi:

  • anak tidak punya batas moral internal (self regulation lemah)
  • anak menjadikan kekerasan sebagai respons yang dianggap sah atas frustrasi.

Baca juga : Hari Media Sosial: Apakah Ini Perayaan atau Pemakaman Kecerdasan Manusia?

Inilah yang kita saksikan di Bekasi. Seorang anak yang merasa ditolak, kehilangan kontrol, dan menampar ibunya sendiri—bukan karena ia jahat sejak lahir, tetapi karena ia tak pernah diajarkan bagaimana mengelola kecewa dan mengatur emosi.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, kita perlu meninggalkan mitos bahwa membebaskan anak berarti menyayanginya. Kasih sayang tanpa batas adalah bentuk penelantaran moral. Pola asuh autoritatif —yang menggabungkan kehangatan dan batasan—terbukti secara konsisten meningkatkan empati, kedewasaan emosi, dan kemampuan sosial anak.

Kedua, regulasi tayangan digital harus menjadi bagian dari literasi keluarga. Parental control tidak cukup; orangtua perlu hadir sebagai “mitra layar”—mendampingi, membimbing dan memberi makna atas tayangan yang dikonsumsi anak.

Ketiga, sekolah dan komunitas perlu menjadi ruang pemulihan sosial: tempat anak mengasah empati, mengelola emosi, dan menyelesaikan konflik secara damai. Program seperti pelatihan literasi emosi, forum komunikasi keluarga, dan kurikulum karakter bukan lagi pelengkap—tetapi kebutuhan mendesak.

Mencegah Anak Menjadi Korban dan Pelaku

Anak bukan “monster”. Mereka cermin dari sistem yang membentuknya. Jika kita ingin anak-anak tidak lagi menampar ibunya karena ditolak, maka orang dewasa harus mulai “menampar kesadaran sendiri”: bahwa pola asuh, layar, dan sistem nilai yang permisif adalah bahan bakar utama kekerasan dalam keluarga.

Apresiasi untuk PP Tunas: Upaya Negara Lindungi Anak dari Kekerasan Sejak Dini

Baca juga : Manusia vs Mesin: Apakah Kita Masih Dibutuhkan di Era AI?”

Dalam konteks pencegahan kekerasan terhadap anak, penting untuk memberikan apresiasi terhadap keberadaan PP Tunas (Peraturan Presiden tentang Strategi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Anak). PP Tunas merupakan kebijakan negara yang secara strategis dirancang untuk melindungi anak-anak Indonesia dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, maupun psikologis—termasuk yang terjadi dalam lingkup keluarga. Melalui pendekatan lintas sektor dan multisistem, PP Tunas menekankan pentingnya penguatan peran keluarga, pendidikan pengasuhan positif, serta pemantauan risiko sejak dini. Dukungan publik terhadap implementasi PP Tunas sangat diperlukan agar upaya negara ini benar-benar terasa hingga ke rumah-rumah.

Kini saatnya menyelamatkan generasi berikutnya—dengan batasan yang jelas, komunikasi yang sehat, dan kehadiran orang dewasa yang bertanggung jawab, bukan hanya menyayangi, tetapi juga membimbing.

DR. Devie Rahmawati, CICS

Associate Professor Vokasi Universitas Indonesia


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *