
Dr. Devie Rahmawati
Pengamat Sosial
Gelombang Warna di Layar
RM.id Rakyat Merdeka – Jika hari ini membuka media sosial, ada satu hal yang mencolok: gelombang warna. #BravePink, #HeroGreen, #ResistanceBlue, menghiasi linimasa. Bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar tren estetika digital. Namun, di balik filter dan hashtag itu, ada sesuatu yang jauh lebih serius: sebuah pergerakan diam-diam, dalam cara berdemokrasi.
Fenomena ini menandai lahirnya digital lingua franca: bahasa universal anak muda dalam berbicara tentang keadilan, solidaritas, dan harapan. Warna dipilih bukan kebetulan. Dalam dunia yang jenuh informasi, warna adalah sinyal simbolik yang sederhana, mudah direproduksi, dikenali, dan relatif aman dari sensor. Sama seperti pita merah untuk AIDS atau kepalan tangan untuk Black Lives Matter, warna-warna digital ini menjadi penanda identitas kelompok yang cepat membangun rasa kebersamaan.
Dari Klik ke Komitmen
Kritik klasik terhadap aktivisme digital, bahwa gerakan digital hanya sebatas “slacktivism” (sebuah aktivisme malas), yang berhenti pada klik. Namun, riset terbaru dari University at Albany (2023) membantahnya. Aksi online kecil, seperti mengganti foto profil, justru berfungsi sebagai gateway effect: pintu masuk psikologis menuju aksi yang lebih besar.
Secara teori, ini disebut foot-in-the-door technique: orang yang sudah mengambil langkah kecil akan terdorong untuk mengambil langkah berikutnya demi menjaga konsistensi dirinya. Dengan kata lain, seseorang yang mem-posting #BravePink bisa saja berikutnya menandatangani petisi, menyumbang dana, atau turun langsung ke jalan. Aksi digital adalah bibit, ia butuh strategi agar tumbuh menjadi pohon perubahan nyata.
Hybrid Activism: Belajar dari Dunia
Baca juga : Roblox: Dunia Permainan atau Perangkap Anak, yang Mengintai di Balik Layar?
Gerakan global memberi contoh. Fridays for Future yang dipimpin aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, menunjukkan bahwa kunci kesuksesan ada pada hybrid activism, paduan antara online dan offline (ganda campuran). Unjuk rasa fisik dimobilisasi lewat dunia maya, lalu aksi di jalan diperkuat kembali melalui media digital.
Prinsip ini juga terlihat di Asia lewat Milk Tea Alliance, koalisi anak muda lintas negara yang bersolidaritas dengan Myanmar pasca-kudeta. Mereka menggunakan meme, hashtag, hingga aksi nyata di depan Kedutaan dan Kantor ASEAN. Polanya jelas: kesadaran digital dialirkan ke aksi kolektif, lalu dikembalikan lagi ke ruang digital untuk membangun tekanan global.
Di Indonesia, pola aktivisme ganda campuran ini mengambil bentuk unik. Sebuah media menulis tentang “solidaritas dalam sebungkus makanan”. Netizen dan warga dunia mengirim makanan untuk driver ojol yang sedang berdemo. Sederhana, tetapi kuat. Sebungkus nasi menjadi simbol empati fungsional, empati yang tidak berhenti pada rasa kasihan, melainkan diwujudkan dalam tindakan konkret.
Bagi driver yang kelelahan, makanan bukan hanya mengisi perut, tetapi juga mengisi hati dengan keyakinan bahwa perjuangan mereka tidak sendirian. Secara sosial, aksi ini menciptakan rekategorisasi identitas: publik tidak lagi melihat driver ojol sebagai “orang lain”, tetapi sebagai “bagian dari kita”.
Di saat bersamaan, diaspora Indonesia juga turun ke jalan di kota-kota dunia. Media melaporkan, bagaimana mereka menggelar aksi dengan membawa “Tuntutan Rakyat 17+8”, gabungan dari simbol hari kemerdekaan (17 Agustus) dengan 17 tuntutan konkret.
Baca juga : Ketika Anak Jadi Pelaku Kekerasan di Rumah: Salah Asuh, Salah Tonton, Salah Sistem
Ini adalah contoh kontrapuntal citizenship: identitas berlapis diaspora, yaitu warga negara di rantau, bagian dari bangsa Indonesia, sekaligus warga dunia, yang justru membuat suara mereka lebih kuat. Diaspora berperan sebagai:
- Pengeras suara (amplifier): menerjemahkan isu lokal ke bahasa global.
- Jembatan (bridge): menghubungkan kebutuhan lapangan dengan sumber daya internasional.
- Penjaga memori (memory keeper): mendokumentasikan perjuangan agar tak hilang ditelan waktu.
Solidaritas diaspora membuktikan bahwa isu nasional bisa menembus panggung global, dari jalanan Jakarta hingga depan parlemen Eropa.
Bab Baru Partisipasi Warga
Yang paling inspiratif dari fenomena ini adalah kebangkitan rights consciousness (kesadaran akan hak) dan civic agency (keagenan warga negara) di kalangan generasi digital. Mereka tidak apatis. Mereka justru menemukan bahasa mereka sendiri untuk bersuara: warna digital, makanan solidaritas, atau tuntutan diaspora.
Demokrasi ternyata tidak hanya ditulis oleh politisi di gedung parlemen. Ia juga ditulis oleh ojol yang berdemo di jalan, oleh mahasiswa yang berorasi, oleh netizen yang memesan nasi bungkus untuk mendukung mereka, oleh diaspora yang berorasi di kota-kota dunia, dan oleh anak muda yang mengganti foto profilnya menjadi #BravePink.
Fenomena ini mencerahkan kita semua. Pertama, bahwa aksi kecil punya makna besar, yaitu warna di layar atau sebungkus nasi bisa menggerakkan solidaritas. Kedua, bahwa isu lokal bisa jadi global, dari jalanan ke dunia, diaspora memastikan suara rakyat terdengar. Ketiga, bahwa generasi digital tidak apatis, mereka hanya berbicara dengan bahasa baru yang harus kita pahami.
Baca juga : Sukseskan Kopdes Merah Putih, Kemenkop Tandatangani Pakta Integritas Anti-Korupsi
Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kemampuan kita membaca bahasa itu, mengartikulasikan tuntutan bersama, dan menghubungkannya ke perubahan nyata. Sebab solidaritas bukan sekadar berbagi perasaan, tapi juga tentang menyatukan langkah. Dan hari ini, kita menyaksikan bab baru demokrasi rakyat Indonesia sedang ditulis bersama.
Dr. Devie Rahmawati CICS
Peneliti & Pengajar Tetap Vokasi UI
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.