Prof. Dr. Ermaya Suradinata
RM.id Rakyat Merdeka – Mari kita kembali bersama: bersatu di dalam Rumah Pancasila. Seruan ini adalah panggilan sejarah, panggilan nurani bangsa, yang semakin terasa mendesak di tengah keadaan politik, sosial, dan budaya kita hari ini. Di mana polarisasi membuahkan luka, memisahkan saudara dengan saudara, sahabat dengan sahabat, seolah-olah perbedaan pandangan politik adalah alasan untuk menghapus rasa kebersamaan.
Dalam situasi yang mengguncang seperti kejadian beberapa hari lalu, maka gema luhur Pancasila harus senantiasa digemakan terus. Lantaran Pancasila bukan sekadar lima sila yang tertera dalam teks Pembukaan UUD 1945. Ia adalah jiwa, ia adalah napas yang menghidupkan kehidupan berbangsa. Jiwa bisa mati bila tidak dirawat –bila hanya dijadikan slogan tanpa diwujudkan dalam tindakan nyata.
Baca juga : Mari Kita Kembali Bersama (Bagian I): Bersatu Di Dalam Rumah Pancasila
Persatuan tidak cukup diucapkan dalam pidato seremonial; ia harus ditanamkan dalam kebijakan publik yang adil, dalam keputusan politik yang memuliakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, dan dalam sikap hidup sehari-hari yang menolak segala bentuk diskriminasi. Mari kita pahami Rumah Pancasila bukan sebagai bangunan abstrak, melainkan sebagai ruang nyata yang menuntut kesetiaan semua pihak. Bila elite meninggalkan rumah itu, bila rakyat tidak lagi percaya pada fondasinya, maka rumah kebangsaan ini akan retak dan hancur.
Di tengah situasi inilah, gagasan Bung Karno tentang Trisakti menemukan kembali relevansinya. Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan adalah tiga pilar yang menopang Rumah Pancasila. Kedaulatan politik mengingatkan kita untuk tidak membiarkan bangsa ini menjadi sandera kekuatan asing maupun segelintir oligarki dalam negeri. Berdikari dalam ekonomi menegaskan bahwa kemerdekaan sejati hanya bermakna bila rakyat dapat hidup sejahtera tanpa ketergantungan pada struktur global yang timpang. Berkepribadian dalam kebudayaan mengajarkan kita untuk tidak kehilangan jati diri di tengah derasnya arus globalisasi. Ketiganya adalah jalan konkret untuk kembali meneguhkan Pancasila sebagai rumah bersama, rumah yang memberi arah dan pegangan dalam badai zaman.
Baca juga : Geopolitik Kepemimpinan Dedi Mulyadi: Narasi Publik Melalui Bahasa Digital
Maka untuk menjaga agar rumah ini tetap kokoh, kita tidak cukup hanya bersandar pada seruan moral. Kita membutuhkan instrumen hukum dan kebijakan yang mengikat, yang menjadi jembatan antara nilai ideal dan praktik nyata. Di sinilah letak mendesaknya Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP) untuk segera diberlakukan sebagai Undang-Undang.
RUU PIP ini bukanlah sekadar produk legislatif biasa, melainkan kebutuhan mendesak agar nilai Pancasila tidak hanya hidup dalam retorika, melainkan berakar dalam kesadaran kolektif bangsa. Tanpa landasan hukum yang kuat, pembinaan ideologi akan bersifat sporadis, sektoral, dan rentan tereduksi oleh kepentingan sesaat. RUU PIP menekankan bahwa pembinaan ideologi bukanlah tugas segelintir lembaga, melainkan tugas bersama seluruh elemen bangsa: lembaga negara, pemerintahan daerah, partai politik, organisasi masyarakat, dunia usaha, hingga komunitas akar rumput. Penanaman, internalisasi, pelembagaan, dan pembudayaan nilai Pancasila harus dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.






