Rumah Subsidi Yang Bermartabat, di antara mimpi, tantangan dan harapan baru

Infrastruktur87 Dilihat

Di tengah derasnya arus urbanisasi dan tekanan ekonomi yang kian menyesakkan, impian memiliki rumah yang layak semakin menjauh bagi jutaan keluarga berpenghasilan rendah di Indonesia. Mimpi itu—yang sederhana namun krusial—tak sekadar tentang atap dan tembok, tetapi tentang harga diri, stabilitas, dan masa depan anak-anak mereka. Program perumahan subsidi memang hadir sebagai jawaban negara atas kebutuhan ini, namun jalan menuju rumah yang adil dan bermartabat bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) masih penuh kerikil tajam.

Baca juga, Setelah Tertekan, Pasar Perumahan Tumbuh 7,8% di Kuartal II-2025

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), angka backlog perumahan Indonesia masih mencapai sekitar 9,9 juta keluarga pada tahun 2024—meskipun menunjukkan penurunan dari 12,7 juta pada 2021. Angka ini mencerminkan jurang besar antara jumlah rumah yang tersedia dan kebutuhan nyata masyarakat, khususnya MBR. Dalam menutup kesenjangan ini, pemerintah meluncurkan Program 3 Juta Rumah per tahun mulai 2025, menggabungkan pembangunan rumah tapak dan hunian vertikal, disertai dukungan pembiayaan seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), SSB (Subsidi Selisih Bunga), serta Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat). Alokasi FLPP tahun 2025 direncanakan mencapai Rp18,7 triliun untuk 220.000 unit, dengan potensi pengembangan hingga dua kali lipat melalui desain pembiayaan hybrid.

Namun di balik angka-angka besar dan strategi makro, muncul pertanyaan mendasar yang terus bergaung di hati banyak MBR: Apakah rumah-rumah itu benar-benar untuk kami? Apakah yang dibangun oleh negara itu betul-betul terjangkau, dapat diakses dan layak ditinggali? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak MBR yang merasa justru semakin tersisih dalam skema-skema megastruktur tersebut.

Salah satu keluhan utama yang muncul adalah soal ketepatan sasaran penerima. Alih-alih jatuh ke tangan mereka yang betul-betul membutuhkan, banyak unit rumah subsidi justru dimiliki oleh pihak-pihak yang tidak memenuhi kriteria, bahkan oleh spekulan yang memperjualbelikan kembali properti tersebut untuk keuntungan pribadi. Sistem verifikasi berbasis penghasilan dan kepemilikan aset yang belum terintegrasi membuat proses seleksi masih rentan dimanipulasi. Akibatnya, MBR sejati yang sudah bertahun-tahun menyewa kamar kontrakan kecil di gang sempit perkotaan tetap tak mampu berpindah ke hunian yang lebih manusiawi. Lebih jauh, kualitas konstruksi rumah subsidi juga menjadi sorotan. Di sejumlah wilayah, keluhan atas bangunan yang cepat rusak, dinding retak, atap bocor, hingga fondasi yang tidak kuat menjadi cerita yang berulang. Audit internal Tapera pada tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 18% unit rumah subsidi mengalami masalah teknis. Ini tentu menimbulkan ironi yang pahit: Rumah yang seharusnya menjadi tempat berteduh justru menjadi sumber kecemasan baru bagi MBR yang telah bersusah payah mendapatkan kunci rumahnya.

READ  Daikin Helat Kompetisi Rancang-Bangun Tata Udara Berhadiah Rp530 Juta

Tantangan lain datang dari lokasi pembangunan yang seringkali jauh dari pusat aktivitas warga. Banyak MBR mendapati diri mereka tinggal di kawasan yang terisolasi, tanpa akses yang memadai ke transportasi umum, fasilitas kesehatan, pendidikan, atau tempat kerja. Biaya transportasi pun melonjak, waktu tempuh membengkak, dan ikatan sosial perlahan memudar. Inilah yang disebut sebagai bentuk ketimpangan spasial—ketika harga murah ditebus dengan kualitas hidup yang menurun.

Dari sisi pembiayaan, ketergantungan yang tinggi pada dana APBN untuk menjalankan skema FLPP, menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan. Untuk menjalankan Program 3 Juta Rumah saja, diperkirakan diperlukan dana lebih dari Rp53 triliun per tahun. Sementara itu, alokasi aktual yang tersedia masih berada di bawah Rp20 triliun, menciptakan jurang besar antara ambisi dan kemampuan fiskal negara. Ketika dana tidak mencukupi, maka MBR kembali harus bersaing dalam antrean panjang atau bergantung pada mekanisme seleksi yang belum sepenuhnya adil.

Di atas semua itu, terdapat pula persoalan tata kelola yang terfragmentasi. Kebijakan dan eksekusi perumahan berada di bawah berbagai lembaga—dari Kementerian PUPR, Bappenas, ATR/BPN, hingga pemerintah daerah dan Tapera—tanpa satu koordinasi yang benarbenar terintegrasi. Tak jarang rumah selesai dibangun tapi tak bisa dihuni karena lahan belum bersertifikat atau akses jalan belum disediakan. Bagi MBR, birokrasi seperti ini bukan hanya menghambat, tetapi juga menambah beban psikis.

Meski demikian, harapan belum sepenuhnya padam. Para pakar dan pelaku industri menyuarakan serangkaian strategi baru yang lebih berpihak pada MBR secara nyata. Salah satu pendekatan penting adalah membangun sistem seleksi penerima berbasis data digital terintegrasi. Dengan menggabungkan informasi dari Dukcapil, BPJS, SLIK OJK, dan DJP, proses verifikasi dapat dilakukan secara otomatis dan transparan, sehingga hanya MBR yang benarbenar memenuhi syarat yang bisa mengakses subsidi.

READ  KONE Indonesia Jadikan KONE Academy Pusat Pelatihan Modern Berteknologi AI

Dalam aspek pembiayaan, model subsidi berlapis yang menggabungkan FLPP, SSB, dan Tapera diyakini dapat menjangkau kelompok MBR yang beragam—dari yang sangat rentan hingga pekerja formal berpenghasilan menengah. Ini memberikan fleksibilitas pembayaran dan mengurangi ketergantungan pada satu sumber dana.

Sementara itu, pembangunan rumah di atas lahan negara, milik BUMN, atau bahkan hasil sitaan, serta pengembangan di kawasan berbasis transit (TOD), menjadi alternatif nyata untuk meminimalkan biaya hidup MBR. Ketika rumah berada di lokasi strategis yang terhubung dengan moda transportasi massal, maka bukan hanya tempat tinggal yang disediakan— tetapi juga akses terhadap peluang ekonomi dan sosial.

Dari sisi mutu, standardisasi kualitas bangunan menjadi keniscayaan. Sistem pelaporan langsung dari penghuni melalui aplikasi audit mandiri dapat mendorong pengembang untuk lebih bertanggung jawab. Insentif bagi pengembang berkualitas dan sanksi bagi yang tidak memenuhi standar dapat membentuk ekosistem yang lebih sehat.

Akhirnya, pembentukan otoritas tunggal perumahan—sebuah “superbody” yang berada di bawah Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP)—dilihat sebagai kunci menuju pengelolaan yang lebih efisien. Dengan satu pintu koordinasi, perencanaan lahan, pembangunan infrastruktur, dan distribusi rumah dapat dilakukan secara terpadu.

Rumah subsidi bukan sekadar tempat berteduh, tetapi harus menjadi rumah yang bermartabat. Pernyataan itu seharusnya menjadi kompas arah kebijakan—bahwa rumah untuk MBR tidak hanya perlu dibangun dengan cepat, tetapi harus diakses secara adil, ditempati
dengan aman, dan ditinggali dengan harapan. Karena sesungguhnya, ketika MBR memiliki tempat tinggal yang layak dan manusiawi, maka bangsa ini sedang membangun bukan hanya atap dan tembok, tetapi juga fondasi kepercayaan dan masa depan.

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/rumah-subsidi-yang-bermartabat-di-antara-mimpi-tantangan-dan-harapan-baru/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *