
RM.id Rakyat Merdeka – Founder Restorasi Jiwa Indonesia (RJI) Syam Basrijal mengingatkan, ada sebuah kebiasaan di publik, seperti sesuatu yang sangat mulia, namun di sisi lain bisa memiliki daya rusak yang sangat luar biasa. Ini disebutnya sebagai toxic charity.
“Ada satu pola kebiasaan yang tampak mulia di permukaan, namun sejatinya beracun bagi jiwa: toxic charity,” kata Syam Basrijal dalam keterangannya, Sabtu (13/8/2025).
Dalam pandangannya, toxic charity adalah bentuk kebaikan yang salah arah. Aktivitas tersebut justru membuat orang semakin bergantung dan kehilangan daya juang. Dia tak menyalahkan kegiatan berbagi dan memberi yang dikenal sebagai core of mentality dari manusia, yakni empati.
Baca juga : Gercin Indonesia Apresiasi TNI-Polri, Sigap Jaga Stabilitas Keamanan
Diingatkan, memberi bantuan instan tampak heroik, tetapi jika dilakukan terus-menerus tanpa pendidikan kesadaran, hasilnya bukanlah kemandirian, melainkan ketergantungan yang kronis.
Syam mengingatkan, toxic charity sering lahir dari niat baik yang tidak disertai pandangan jauh ke depan. Berbasis jangka pendek karena bisa jadi berawal dari empati semata, tanpa ada konstruksi sosial yang jelas.
Saat melihat orang miskin, segera diberi uang; ketika melihat anak putus sekolah, langsung diberi sembako. Semua tampak cepat dan praktis, namun sesungguhnya menumbuhkan mental miskin: pola pikir yang terus merasa kurang, lemah, dan harus selalu ditolong.
Baca juga : Ganda Putra Jadi Tumpuan Indonesia Di Seri VII M-25 Nusa Dua
Lebih buruk lagi, toxic charity dapat melahirkan mental korban. Muncul jiwa yang selalu merasa menjadi objek belas kasihan, tanpa berani mengambil tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Fenomena yang dapat dijadikan contoh konkret adalah konsep Bantuan Sosial (Bansos).
Mestinya menurut Syam, konsep bansos menjadi jaring pengaman darurat bagi kebutuhan jangka pendek masyarakat. Namun kini malah cenderung berubah menjadi candu politik.
Dalam jangka panjang, dia mengingatkan, ini sangat berbahaya bagi mentalitas bangsa Indonesia, khususnya kalangan menengah ke bawah. Alih-alih memberdayakan rakyat, Bansos menjadikan mereka pasif menunggu kapan bantuan berikutnya datang.
Baca juga : DPR Apresiasi Tiga Geopark Indonesia Raih Status Green Card UNESCO
“Budaya ini secara halus mencetak generasi yang terbiasa menengadah, bukan berani berdiri. Di sinilah racun toxic charity bekerja, pelan tapi pasti melemahkan martabat,” terangnya.
Padahal kata Syam, martabat manusia tak pernah lahir dari belas kasihan. Martabat hanya tumbuh dari kesadaran akan kekuatan diri. Ketika seseorang terlalu lama diberi tanpa dilatih, daya juangnya mati, kehilangan kreativitas untuk mencari jalan, kehilangan keberanian untuk gagal, kehilangan keyakinan bahwa dirinya mampu. Inilah bahaya paling besar dari toxic charity, membunuh potensi sebelum sempat tumbuh.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.






