Jakarta, propertyandthecity.com – Program 3 juta rumah yang dicanangkan pemerintah menuai banyak pertanyaan dari pelaku industri properti. Alih-alih membawa optimisme, kebijakan ini justru dinilai tidak memiliki skema yang jelas serta anggaran yang tidak memadai.
CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap program ini. Ia menyebut pemerintah seolah tidak serius dalam menjalankan kebijakan tersebut.
“Ini pemerintah serius enggak sih? Kalau memang serius, anggarannya naikin dong! Minimal FPP-nya yang dinaikkan,” ujar Ali Tranghanda dikutip dari kanal YouTube Panangian Simanungkalit.
Anggaran Minim, Target Terlalu Ambisius?
Dibandingkan dengan program sebelumnya, alokasi anggaran untuk perumahan justru mengalami penurunan signifikan. Menurut Ali, sebelumnya untuk membangun 200.000 rumah saja diperlukan anggaran Rp16,5 triliun, sementara kini untuk program 3 juta rumah, anggarannya hanya Rp5 triliun—bahkan setelah efisiensi hanya tersisa Rp1,6 triliun.
“Dengan anggaran segitu, kita bertanya-tanya, ini roadmap-nya mau ke mana? Sampai sekarang belum ada kejelasan,” ujar Ali.
Selain itu, belum adanya kepastian terkait kuota rumah subsidi juga menjadi kendala bagi pengembang. Saat ini, kuota rumah subsidi hanya sekitar 200.000–300.000 unit per tahun, sementara kebutuhan perumahan di Indonesia mencapai 600.000–700.000 unit per tahun.
“Kalau kuota habis di pertengahan tahun, banyak pengembang yang sudah membangun rumah tapi pencairan dananya tidak ada. Ini mengganggu cash flow mereka,” tambahnya.
Pengembang Subsidi Mulai Mundur
Ketidakpastian dalam kebijakan perumahan subsidi ini telah menyebabkan banyak pengembang mulai meninggalkan sektor ini. Menurut survei yang dilakukan IPW, 8 dari 10 pengembang subsidi kini memilih untuk beralih ke proyek komersial karena lebih pasti dan menguntungkan.
Beberapa alasan utama pengembang mulai meninggalkan rumah subsidi antara lain:
- Harga tanah yang semakin mahal, sehingga proyek subsidi menjadi tidak ekonomis.
- Regulasi yang rumit, termasuk aturan administratif yang memperlambat pencairan dana.
- Kuota yang terbatas, sehingga banyak proyek terhambat meskipun sudah dibangun.
Ali juga menyinggung keterlambatan dalam penyesuaian harga rumah subsidi. Seharusnya, harga rumah subsidi naik 5% setiap tahun, namun dalam tiga tahun terakhir tidak ada kenaikan.
“Kalau harga tidak naik, pengembang semakin sulit bertahan. Kalau dibiarkan, lama-lama pengembang akan menghilang sendiri,” tegas Ali.
Jika pemerintah tidak segera memberikan kepastian hukum dan kebijakan yang lebih jelas, program ini dikhawatirkan hanya akan menjadi wacana tanpa realisasi.
“Kalau memang program ini serius, maka skema dan roadmap-nya harus segera diselesaikan. Jangan biarkan pasar terus terombang-ambing,” pungkas Ali.
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/anggaran-minim-di-tengah-target-ambisius-realistiskah-program-3-juta-rumah/