
Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si
RM.id Rakyat Merdeka – Di hutan, ada hewan yang jika bergerak tak pernah terburu-buru, namun selalu tahu ke mana harus melangkah. Ia tak haus dominasi, namun disegani seluruh penghuni hutan. Suaranya tak pernah memekik keras, tapi setiap jejaknya mampu mengguncang bumi. Dialah gajah.
Dan di hadapan ribuan kader PSI yang memadati Kota Solo yang tak lama sebelumnya berganti simbol, Presiden Prabowo Subianto mengucapkan satu kalimat sederhana namun sarat makna: “Saya paling menyayangi gajah.”
Mungkin perubahan logo PSI, menjadi dasar perubahan cara gerak PSI. PSI yang selama kita tahu, sangat lincah dan sangat terkesan terburu-buru, mulai berubah dan bermetamorfosis menjadi gajah.
Bagi telinga yang terbiasa mendengar politik sebagai panggung pencitraan, kalimat presiden mungkin terdengar sebagai candaan. Tapi bagi mereka yang mengerti bahasa kepemimpinan dan sejarah, itu adalah sabda. Ia bicara tentang kekuatan yang tak perlu sorotan, tentang kekuasaan yang bukan menindas, melainkan menopang.
Mata Prabowo kemudian tertuju pada spanduk besar bertuliskan “PSI”. Ia menunduk sejenak, suaranya bergetar pelan. “Saya sedikit emosional…” katanya. Di situlah, ingatan tentang sang ayah menyeruak.
Baca juga : Danantara Mengglobal, Prabowo Bawa Pulang 162 Triliun
Soemitro Djojohadikusumo, ekonom besar bangsa ini, pernah memimpin Partai Sosialis Indonesia, juga disingkat PSI, sebuah partai progresif yang berdiri pada 1948. Inilah rumah para pemikir besar seperti Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, dan tentu, Soemitro sendiri.
PSI versi lama bukan sekadar partai politik; ia adalah perlawanan intelektual terhadap korupsi dan otoritarianisme. Dikenal karena sikap anti-korupsi yang tajam dan keberanian membela demokrasi parlementer, PSI lama dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1960 karena dianggap terlalu kritis terhadap kekuasaan.
Menjadi bagian dari PSI kala itu berarti siap dituduh, disingkirkan, bahkan dibungkam, asal tak tunduk pada kezaliman. Dan itulah jejak sejarah yang membuat suara Prabowo bergetar hari itu.
Kini nama itu bangkit kembali dalam wujud berbeda: Partai Solidaritas Indonesia. Dengan semangat baru, wajah muda, dan satu simbol yang mencuri perhatian: seekor gajah berkepala merah. Tapi lambang itu bukan sekadar desain grafis. Ia adalah pesan. Dalam filosofi Jawa dan India kuno, gajah adalah lambang keteguhan, kesabaran, dan kekuasaan yang tak melukai. Ia tenang, tetapi ketika bergerak, tidak ada yang mampu menahan.
Ketika PSI baru memilih gajah sebagai lambang, respons Prabowo bukan basa-basi. Ia bercerita, tanpa naskah, tanpa skrip, bagaimana dirinya memutuskan mengalihkan 90 ribu hektare lahan konsesi industri di Aceh menjadi kawasan konservasi gajah.
Baca juga : Israel Tiada Hari Tanpa Membunuh, dr. Marwan Al-Sultan Syahid
Awalnya hanya 20 ribu hektare. Tapi setelah menerima surat dari Raja Charles III dan mendengar suara hatinya, Prabowo bertindak. Bukan untuk pencitraan. Tapi karena ia tahu: memimpin adalah menjaga, bukan menguasai. Memimpin adalah tahu kapan harus melindungi mereka yang tak bisa bersuara.
Namun di sela-sela haru itu, Prabowo juga mengirim pesan keras kepada zaman. “Banyak orang merasa pintar… lebih tahu dari saya,” ujarnya. Sebuah sindiran telak bagi generasi yang mengira pengaruh datang dari konten, bukan konsistensi.
Di negeri ini, terlalu banyak yang merasa cukup dengan kamera, podcast, dan koneksi internet, lalu menyebut dirinya pemikir. Mereka menjual narasi “Indonesia gelap”, padahal yang gelap bukan negerinya, melainkan niat di balik narasinya.
Presiden menyebut langsung: narasi itu rekayasa. Dibiayai. Disusun oleh mereka yang ingin negeri ini terus gaduh, terus gagal, agar sistem korup yang mereka warisi tetap lestari. Di tengah itulah, Prabowo menegaskan: rakyat butuh pejuang politik, bukan komentator viral. Butuh orang-orang yang mau difitnah, diteriaki, bahkan dijatuhkan, tetapi tetap berdiri membela kebenaran dan rakyat kecil.
Hari itu, Prabowo tak sekadar berbicara tentang PSI, kabinet, atau partai. Ia berbicara tentang Indonesia yang ia cintai: Indonesia yang setia seperti sejarah, tenang seperti gajah, dan kuat seperti tanah yang dipijak petani.
Baca juga : Myanmar Membara, Filipina Pernah Menyala: Diplomasi Selalu Menang
PSI lama telah dibungkam lebih dari enam dekade lalu. Tapi semangatnya hidup kembali, di tubuh generasi baru yang menolak menyerah pada sinisme zaman. Dan ketika Prabowo menyambutnya dengan haru dan hormat, kita tahu: estafet sejarah itu belum pernah putus.
Gajah, PSI, dan Indonesia kita, semuanya butuh arah yang jelas, bukan gaduh tak bermakna. Butuh pemimpin sejati, bukan pengamat yang berlindung di balik layar. Butuh cinta mendalam, bukan kebencian yang meracuni.
Prabowo sudah memberi teladan. PSI sudah memberi isyarat. Sekarang giliran kita melanjutkan langkah ini, dengan tenang, pasti, dan setia.
Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si
Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.