PAJAK JADI AMARAH BARU! MASYARAKAT GELISAH

Infrastruktur14 Dilihat

Gelombang protes pajak menjalar dari kota ke kota. Tahun 2025, tagihan PBB mendadak melambung, bukan karena masyarakat mendadak kaya, melainkan karena angka kaku NJOP di balik selembar SPPT melonjak mengikuti harga pasar. Bagi masyarakat, ini bukan sekadar perhitungan fiskal, melainkan pukulan telak ke dompet yang tak ikut tumbuh. Dari warung kopi hingga lini masa media sosial, amarah mengeras: Pajak disebut rakus, pemerintah daerah dituding abai, dan kepercayaan publik pun menipis.

Baca juga, Kementerian PKP dan LKPP Kolaborasi Transformasi Digital Pengadaan Hunian Rakyat 

Di balik riuh tersebut, ada dilema klasik yang kini membakar meja kerja para kepala daerah. APBN dari pusat menyusut, kebutuhan pembangunan melonjak, sementara PBB yang semestinya jadi penopang justru berubah menjadi sumber keresahan. Benarkah pemerintah daerah benar-benar tak punya pilihan, atau justru gagal berani mengambil opsi kebijakan yang lebih adil? Inilah drama fiskal 2025 pertarungan antara angka, politik, dan rasa keadilan yang menentukan wajah keuangan daerah.

Untuk memahami letupan PBB tahun ini, mulailah dari hulu. Sejak PMK 85/2024, penilaian properti dipaksa lebih dekat ke harga pasar melalui zonasi nilai tanah (ZNT), nilai indikatif referensi (NIR), dan daftar baku konstruksi bangunan (DBKB). Ini langkah rasional: negara tidak boleh menutup mata terhadap apresiasi harga tanah yang sesungguhnya. Namun PBB pajak berbasis kepemilikan memakai rumus yang tak kenal basa-basi: PBB terutang = tarif × (NJOP – NJOPTKP). Ketika NJOP bergerak cepat dan tarif tak ikut disetel, tagihan melonjak. Kelas menengah yang tinggal di kawasan yang “mendadak mahal” menjadi sumbu terpendek, sementara gaji stagnan, PBB melambung.

Di ruang redaksi kami, kami memutuskan berhenti berdebat abstrak dan memilih berargumen dengan data. Kami membangun sebuah simulasi kota fiktif berisi 400.000 SPPT rumah tangga cukup besar untuk menangkap dinamika perkotaan, cukup sederhana untuk dipahami publik. Distribusi NJOP kami tetapkan mirip kota-kota satelit: 40% rumah kecil di bawah Rp250 juta; 40% kelas menengah Rp250–750 juta; 18% menengah atas Rp750 juta–Rp2 miliar; dan 2% di atas Rp2 miliar. Rata-rata NJOP per kelompok kami set di Rp180 juta, Rp500 juta, Rp1,2 miliar, dan Rp3,5 miliar.

READ  Dikritik Soal Aturan Baru Luas Rumah Subsidi, Maruarar Sirait Buka Suara

Namun agar lebih membumi, mari kita tarik ke contoh yang konkret. Bagaimana jika seorang warga—sebut saja Akbar—memiliki sebidang tanah 100 m² dengan bangunan seluas 70 m² di atasnya? Dengan tarif PBB 0,1% dan NJOPTKP (batas Nilai Jual Objek Pajak yang Tidak Kena Pajak). Rp12 juta, kita bisa membandingkan beban PBB tahun 2024 dengan skenario 2025 di berbagai kota.

Simulasi Kenaikan PBB (2024 → 2025); Objek: tanah 100 m² + bangunan 70 m²

Daerah NJOP Tanah 2024 (per m²) NJOP Bangunan 2024 (per m²) PBB 2024 (asumsi) Kenaikan 2025 PBB 2025 (simulasi) Status Kebijakan
DKI Jakarta Rp 40 juta* Rp 6 juta* ± Rp 394 ribu +15% (cap max 50%) ± Rp 433 ribu Berlaku, dengan insentif & pembebasan objek < Rp2 miliar
Cirebon (Jabar) Rp 30 juta Rp 5 juta ± Rp 292 ribu ~+1000% (tagihan 10×) ± Rp 2,9 juta Berlaku, memicu protes
Purwakarta (Jabar) Rp 25 juta Rp 4 juta ± Rp 242 ribu Stimulus, beban netral ± Rp 242 ribu Berlaku, kenaikan ditutup stimulus
Pati (Jateng) Rp 38,3 juta (rata-rata) Rp 0,94 juta (rata-rata) ± Rp 320 ribu +250% (dibatalkan) ± Rp 1,120 juta Dibatalkan setelah demo besar
Semarang (Jateng) Rp 20 juta Rp 2 juta ± Rp 200 ribu +441% (contoh kasus) ± Rp 1,080 juta Dibatalkan (ikuti Pati)
Jombang (Jatim) Rp 15 juta Rp 1,5 juta ± Rp 158 ribu +1200% ± Rp 2,06 juta Berlaku (tapi NJOP baru 2026 akan turunkan beban)

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/pajak-jadi-amarah-baru-masyarakat-gelisah-kas-daerah-memerah/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *