
BUDI RAHMAN HAKIM
RM.id Rakyat Merdeka – Kepercayaan antara negara dan warga tak dibangun lewat pidato, melainkan melalui keberpihakan nyata. Dalam konteks ekonomi, itu berarti bagaimana kebijakan fiskal—dari subsidi, APBN, hingga stimulus—dirancang, disalurkan, dan dirasakan. Pengumuman stimulus musiman Natal dan Tahun Baru senilai 2 miliar dolar AS oleh pemerintah, yang diberitakan Financial Times (2025), menegaskan bahwa negara sedang berupaya mendorong konsumsi di tengah perlambatan ekonomi. Namun, pertanyaannya: siapa yang benar-benar merasakan dorongan itu?
Dalam teori ekonomi politik, James Ferguson dalam bukunya The Anti-Politics Machine (1994) menekankan bahwa program teknokratik yang tidak memahami konteks sosial seringkali gagal membangun legitimasi. Stimulus bukan hanya soal angka. Bila alokasi tak menyentuh kelompok rentan, yang terjadi justru kecurigaan: warga merasa program hanya untuk pengusaha besar atau kawasan ekonomi elite. Di sinilah korelasi kepercayaan diuji.
Baca juga : Kepada Warga, Bukan Proyek
Kebijakan yang terlalu fokus pada efisiensi, tanpa mempertimbangkan keadilan distribusi, akan memperlebar jurang sosial. Dalam konteks Indonesia, kesenjangan antara pusat-pinggiran, kota-desa, dan formal-informal sangat signifikan. Maka, alokasi stimulus semestinya mempertimbangkan aspek ini: bukan hanya melalui perbankan atau insentif fiskal atas konsumsi kelas menengah, tapi juga dengan memperkuat UMKM, bantuan langsung, dan layanan dasar.
Transparansi dalam distribusi kebijakan ekonomi juga krusial. Tanpa akuntabilitas publik, stimulus mudah dituduh sebagai ladang korupsi, atau bahkan instrumen nepotisme politik. Seperti disoroti oleh Transparency International (2023), negara-negara yang gagal menyertakan mekanisme pengawasan dalam belanja publik cenderung mengalami penurunan kepercayaan yang tajam—bahkan di tengah capaian pertumbuhan yang tinggi.
Baca juga : Reformasi Kebijakan Layanan
Kepercayaan adalah prasyarat pelaksanaan kebijakan. Ketika warga percaya, maka insentif negara tak harus dipaksakan dengan aparat atau ketakutan, melainkan mengalir lewat partisipasi sukarela. Sebaliknya, jika publik apatis atau curiga, maka bahkan program paling inovatif pun akan berujung stagnan. Korelasi ini bukan spekulasi—ia adalah hukum sosial yang telah dibuktikan dalam berbagai transisi ekonomi di dunia.
Pemerintah perlu sadar: hari ini bukan era pasif. Warga adalah subjek ekonomi yang melek, kritis, dan terhubung. Mereka mampu menilai apakah stimulus ini adalah “kado politik menjelang akhir tahun”, atau langkah nyata untuk merawat keseimbangan sosial.
Baca juga : Proyek, Nilai dan Rasa
Maka untuk mengubah korelasi kepercayaan, negara tidak bisa sekadar mencairkan dana. Ia harus mencairkan keraguan dengan keadilan, dan mengganti kesenjangan dengan keberpihakan. Itulah cara kepercayaan dibangun—bukan dengan angka, tapi dengan rasa.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.