Mengejar 200 Penunggak Pajak 60 T Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Nasional2 Dilihat



RM.id  Rakyat Merdeka – 23 September 2025 yang lalu, kita dikejutkan dengan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, “Ada 200 Wajib Pajak (termasuk wajib pajak besar) yang bakal ditagih dengan nilai Rp 60 triliun”.

Kasus tunggakan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Penjelasan tersebut sangat jelas. Anehnya, pada era Menteri Keuangan sebelumnya, kita tidak pernah mendengar ada kasus tunggakan pajak sebesar itu. Bagusnya sekarang, pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa diikuti dengan penjelasan teknis oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, seperti dimuat media pada tanggal 14 Oktober 2025. Direktur Jenderal Pajak menargetkan dapat mengumpulkan Rp 20 triliun dari total Rp 60 triliun tunggakan dari 200 wajib pajak.

Tunggakan pajak berarti ada tagihan pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak. Sedangkan inkrah atau berkekuatan hukum tetap artinya putusan pengadilan sudah final dan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum banding atau kasasi, sehingga langsung bisa dieksekusi (huruf tebal dari penulis).

Dari pernyataan Menteri Keuangan di atas, ada dua hal penting yang harus disimak: para penunggak pajak tersebut adalah sebagian besar Wajib Pajak Besar, artinya dari perusahaan besar. Dan jumlahnya relatif besar Rp 60 triliun. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk menambah Dana Transfer Daerah (TKD) yang bisa dimanfaatkan oleh para bupati/wali kota untuk meningkatkan pelayanan publik di daerah masing-masing, bisa juga untuk meningkatkan kesejahteraan guru, bahkan memperkuat modal Koperasi Merah Putih. Namun, kita memahami dari penjelasan teknis Dirjen Pajak, terkesan ada kesulitan menagih/mengeksekusi tunggakan Rp 60 triliun itu. Ini terbukti dengan target hanya Rp 20 triliun pada akhir tahun 2025.

Mengapa Sulit menagih?

READ  Mental Pemenang Persib Kembali Terbentuk

Baca juga : Ke Pyongyang, Menlu Sugiono: Perkuat Hubungan Yang Telah Lama Terjalin

Sebuah kasus pajak (tunggakan pajak) yang sampai berkekuatan hukum tetap berarti telah melalui proses yang panjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengapa tidak bisa langsung dieksekusi? Ada faktor objektif dan faktor subjektif. Faktor objektif terkait kondisi perusahaan: memang ada yang mengalami kesulitan likuiditas dan pailit. Kondisi ini harus tetap diselesaikan dengan tegas mengacu kepada peraturan dan undang-undang yang mengatur kepailitan (Undang-Undang No. 37 Tahun 2004). Penyelesaian melalui penerapan kepailitan memberikan kepastian bagi negara akan hak tagihnya, demikian juga bagi wajib pajak ada kepastian penyelesaian kewajibannya.

Faktor subjektif: ada kalanya perusahaan besar tertentu melakukan “buying time” dalam menunaikan kewajiban tunggakan pajaknya. Ini bisa terjadi karena ada “ewuh pakewuh” petugas karena perusahaan tersebut “akrab” dengan pihak tertentu yang mempunyai pengaruh, baik “ruling elite” maupun kekuatan politik tertentu. Buying time juga bisa untuk mendapatkan status “kedaluwarsa” sehingga petugas pajak tidak dapat menagih lagi kewajiban yang tertunggak.

Keadilan Dalam Penagihan Pajak

Walaupun keadilan itu “mahal”, tapi bukan berarti tidak dapat ditegakkan dalam penagihan kewajiban pajak. Dalam keseharian, kita gampang menemukan objek pajak profesional seperti dokter, pengacara, “dikejar-kejar” petugas pajak supaya membayar kewajiban pajaknya. Bagi kalangan profesional, tidak ada pilihan lain: harus membayar kewajiban pajaknya. Pengusaha kecil menengah juga dikejar dan diperlakukan dengan tegas supaya membayar pajak. Tidak jarang kita melihat dengan mata kepala sendiri petugas menempelkan pernyataan keras di tempat usaha/rumah: WAJIB PAJAK INI BELUM MELUNASI KEWAJIBAN PAJAKNYA. Kita tidak pernah mendengar perusahaan besar/wajib pajak besar diperlakukan sama dengan pengusaha kecil menengah dan kelompok profesional seperti diungkapkan di atas. Perbedaan perlakuan itu nyata adanya. Bila kita ingin meningkatkan tax ratio secara nyata, penting sekali perlakuan yang sama kepada semua wajib pajak tanpa melihat besar kecil perusahaannya, profesi, dan pangkat/jabatan yang bersangkutan.

READ  150 Anak Dhuafa Dikhitan, PLN EPI Hadir Tak Cuma Pasok Energi

Cermin Dari Negara Lain

Baca juga : Negara Rugi Rp300 Triliun, Fraksi PKS Usul 8 Langkah Selamatkan Kekayaan Mineral

Ketaatan wajib pajak dan ketegasan negara dalam menghadapi kasus pajak dapat dilihat pada dua kasus berikut ini: Pertama, kasus dakwaan penggelapan dan penghindaran pajak oleh pendiri Lotte Group, sebuah perusahaan besar Korea Selatan, senilai USD 76 juta. Walaupun perusahaan besar di Korea Selatan tersebut mempunyai jejaring internasional, tetap ditindak dengan tegas berdasarkan undang-undang yang berlaku di Korea Selatan.

Kedua, mundurnya Wakil Perdana Menteri Inggris Angela Rayner pada tanggal 6 September 2025 hanya karena kurang bayar pajak properti pribadi menunjukkan sikap ksatria sebagai seorang politisi dan warga negara sekaligus sebagai wajib pajak. Sulit membayangkan seorang pejabat tinggi di negara berkembang termasuk di Indonesia mundur hanya karena kurang bayar pajak rumah/apartemen.

Beberapa hal mungkin bisa dipertimbangkan untuk mencegah dan mungkin juga mempermudah penyelesaian tunggakan pajak: pertama, Menteri Keuangan beserta jajaran Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya segera melakukan evaluasi menyeluruh semua tunggakan pajak sehingga dapat dibuat prioritas percepatan penagihan untuk menghindari kedaluwarsa hak tagih. Berdasarkan informasi yang valid, setiap tahun ada sejumlah tunggakan pajak yang kedaluwarsa karena terlambat dieksekusi.

Kedua, pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sebaiknya mempertimbangkan untuk mengumumkan Putusan Inkrah Mahkamah Agung tentang kasus tunggakan pajak untuk memberi efek jera kepada para penunggak pajak.

Ketiga, penting adanya kesamaan perlakuan terhadap wajib pajak tanpa melihat jenis usaha, besar kecil, dan profesi wajib pajak yang akan ditagih.

Baca juga : Sikat Tambang Ilegal Di Babel, Prabowo Nggak Pandang Bulu Tegakkan Hukum

Keempat, dalam proses penagihan/eksekusi tunggakan pajak yang berkekuatan hukum tetap, Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya bekerja sama dengan penegak hukum dan TNI. Kalaupun terjadi gesekan di lapangan dapat segera diselesaikan.

READ  DPR Puji Kejagung Sukses Sita Rp 11,8 T Kasus Dugaan Korupsi Ekspor CPO

Kelima, jangan lagi ada program tax amnesty jilid 3 yang hanya memberi “ruang” pengemplang pajak untuk mendapatkan keringanan kepada negara. Menteri Keuangan dan penegak hukum harus mengusut pihak tertentu, baik yang masih menjabat maupun yang sudah purnabakti, yang nyata-nyata melakukan pembiaran dan menggiring wajib pajak tertentu untuk tidak melapor kewajiban pajaknya, terutama Pajak Orang Pribadi, sehingga masuk ke dalam program tax amnesty. Sudah dapat dipastikan negara mengalami kehilangan potensi penerimaan pajak puluhan triliun.

Insyaallah, dengan kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto, penerimaan pajak akan meningkat dan tertib.

Oleh: Rizal Djalil

Penulis adalah Politisi Senior, Ketua Panja Ketentuan Umum Perpajakan DPR RI Tahun 2007


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *