Ketika Hoaks Jadi Peluru dan Kita Jadi Korban

Nasional18 Dilihat


Dr. Devie Rahmawati


Dr. Devie Rahmawati

Pengamat Sosial

RM.id  Rakyat Merdeka – Agustus 2025, Indonesia meminta TikTok dan Meta untuk bertindak. Alasannya? Dalam hitungan jam, konten menyesatkan tentang protes warga menyebar di media sosial. Video lama diedit ulang, narasi palsu dipoles seolah nyata, dan emosi publik dipancing tanpa rem. Hasilnya? Kericuhan pun turut pecah di beberapa kota.

Bukan sekali ini saja. Kita sudah terlalu sering melihat bagaimana satu pesan di grup WA, satu video editan, atau satu komentar bernada provokatif, bisa menyulut ribuan orang marah, panik, bahkan membenci sesamanya.

Hoaks hari ini bukan lagi sekadar “salah info”. Ia adalah senjata digital, diam-diam menyusup ke layar ponsel kita, lalu meledak di dunia nyata. Membelah masyarakat. Mendorong orang saling curiga. Bahkan, menyesatkan arah bangsa.

Tulisan ini akan membawa kita menyusuri jejak hoaks dari masa ke masa, dari tabloid kuning hingga deepfake AI. Dari cerita rakyat yang dibakar hidup-hidup di Meksiko, hingga tragedi Rohingya yang dipicu oleh Facebook. Lalu kita akan kembali ke Indonesia, di mana kebenaran makin sulit dicari, karena suara paling keras bukan selalu yang paling benar.

Jejak Panjang Kebohongan: Dari Pamflet ke Pixel

Hoaks bukanlah produk zaman digital. Sejak era pamflet dan tempat ibadah, kebohongan telah menumpahkan darah. Di abad ke-15, fake news soal “pemanggangan anak oleh Ras tertentu” telah mengilhami pembunuhan massal dan propaganda Nazi. Pada 1761, Jean Calas, seorang pedagang di Toulouse, Perancis, dieksekusi setelah dituduh membunuh anaknya karena hendak pindah agama. Belakangan terbukti, itu kebohongan yang didukung otoritas lokal dan media massa. Voltaire pun menulisnya sebagai bukti bahwa “akal bisa dibungkam oleh dusta.”

READ  Polri Dukung Pembentukan Koperasi Merah Putih Di Desa Dan Kelurahan

Baca juga : Pemuda Muhammadiyah Serukan Dialog Damai

Di abad ke-19, muncul era yellow journalism yang memproduksi hoaks demi oplah. Koran New York Sun menerbitkan berita “peradaban di bulan” demi sensasi. Bahkan salqh satu politisi telah menyebarkan kabar bohong soal tentara Inggris yang mempekerjakan suku Indian pembantai demi membakar semangat revolusi. Hoaks pernah jadi alat propaganda, tapi kini ia jadi senjata massal.

Api yang Dinyalakan oleh Kata

Bahaya terbesar hoaks muncul dalam krisis sosial, di saat publik kehilangan arah dan sangat membutuhkan jawaban. Dalam kondisi panik, berita palsu terasa lebih menenangkan daripada kebenaran yang rumit.

  • Myanmar 2017: Hoaks Facebook yang menyebut Rohingya sebagai “ancaman agama” menyulut genosida. Ujaran kebencian jadi peluru pertama sebelum senjata api.
  • Meksiko 2018: Video palsu menuduh dua pria menculik anak. Mereka dibakar hidup-hidup oleh massa. Belakangan, polisi membuktikan: mereka tak bersalah.
  • AS 2016 (Pizzagate): Hoaks soal jaringan pedofilia elite membuat seorang pria bersenjata menyerbu restoran di DC. Tak ada korban jiwa, tapi dunia sadar: hoaks bisa menembus ruang realita.
  • Eropa abad ke-18: Hoaks pasca-Gempa Lisbon menyebut gempa sebagai murka Tuhan terhadap dosa, mendorong kebijakan gereja yang represif dan menyesatkan umat.

Kini, hoaks tidak hanya menyesatkan opini. Ia menghilangkan nyawa.

Era AI dan Deepfake: Ketika Mata Tak Lagi Bisa Dipercaya

Laporan sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa bahkan foto asli pun mulai diragukan publik, terutama saat AI dapat menciptakan visual yang sangat meyakinkan. Kita bukan hanya menghadapi hoaks konten, tapi krisis persepsi: siapa yang bisa dipercaya?

Mengapa Hoaks Terasa Benar Saat Salah?

Berbagai studi akademik mengungkap alasan psikologis mengapa hoaks bisa terasa “benar”:

  • Theory of Rumor Transmission: Informasi yang menyentuh ketakutan menyebar lebih cepat.
  • Confirmation Bias: Kita lebih percaya informasi yang sesuai dengan kepercayaan kita.
  • Availability Heuristic: Semakin sering diulang, semakin dianggap benar.
  • Echo Chamber Effect: Media sosial menciptakan gelembung informasi yang memperkuat opini pribadi.
  • Digital Propaganda Theory: Algoritma platform digital memprioritaskan konten ekstrem karena lebih viral dan menguntungkan.

Baca juga : Pertamina Salurkan Energi Bersih Ke 25 Ha Lahan Pertanian Di Kalijaran

Di platform seperti Weibo dan Twitter, peningkatan emosi marah sebesar 0,1 bisa meningkatkan retweet hingga 6 kali lipat. Berita politik palsu, misalnya, menyebar tiga kali lebih cepat dari berita netral.

Tipologi Senjata Digital: 4 Bentuk Weaponisasi Hoaks

  1. Penyulut Ketegangan Identitas. Isu SARA dibentuk sedemikian rupa agar polarisasi membelah masyarakat.
  2. Pemusatan Narasi Tunggal. Hoaks menyederhanakan konflik kompleks menjadi “baik vs jahat”, menghapus nuansa.
  3. Delegitimasi Lembaga. Mengikis kepercayaan terhadap pemilu, pemerintah, media, dan bahkan tenaga kesehatan.
  4. Normalisasi Kekerasan. Membenarkan kekerasan sebagai tindakan pembelaan terhadap “kebenaran” versi sendiri.

Saat Saring Tidak Lagi Terjaring

Dulu, jurnalis lokal adalah penjaga gerbang informasi. Kini, mereka hampir “punah”. Pew Research Center mencatat penurunan jumlah jurnalis sejak 2003, bersamaan dengan ledakan konten tanpa filter. Dampaknya, masyarakat kebanjiran informasi tanpa tahu siapa yang bisa dipercaya.

Upaya mengatasi fenomena ini, negara tidak bisa berjalan sendiri. Kita patut mengapresiasi upaya komunitas seperti: Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Siberkreasi (Gerakan Nasional Literasi Digital), Japelidi (Jaringan Pegiat Literasi Digital), ICT Watch, Klinik Digital, dll, yang telah menjadi garda depan dalam edukasi publik, kampanye klarifikasi, dan pelatihan literasi digital dari desa ke kota.

Apa yang Dapat Kita Lakukan

1. Bangun Literasi Digital dan Emosional

Belajar dari Finlandia: ajarkan masyarakat untuk bukan hanya memverifikasi, tapi mengelola emosi saat menerima informasi. Jangan langsung percaya atau membagikan karena takut atau marah.

2. Ciptakan Tim Reaksi Cepat

Hoaks berumur pendek jika dibantah cepat. Pemerintah pusat dan daerah perlu membentuk satuan reaksi cepat anti-hoaks dengan tokoh lokal dan media komunitas.

3. Desain Narasi Tandingan yang Emosional

Baca juga : Kapolda Banten Temui Aksi Solidaritas Ojol Di Banten

Fakta kaku kalah dari cerita. Kampanye anti-hoaks harus memakai storytelling, video pendek, meme, dan satire agar masuk ke hati, bukan sekadar kepala.

4. Tekan Platform Digital untuk Transparansi

Teknologi ikut bertanggung jawab. Platform seperti Meta, YouTube, dan TikTok perlu membuka log algoritma mereka ke lembaga independen, bukan hanya janji moderasi.

5. Revitalisasi Jurnalisme Komunitas

Dukung pelatihan dan insentif bagi wartawan lokal agar menjadi mata dan telinga warga di lapangan. Jurnalis adalah filter sosial yang hilang di era algoritma.

Tulisan ini bukan sekadar pengingat akan bahaya hoaks. Ia adalah seruan untuk bertindak, karena jika tidak, kita mungkin jadi bagian dari generasi yang membiarkan sejarah berdarah terulang, hanya karena jempol yang tak terlatih dan emosi yang tak disaring.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *