RM.id Rakyat Merdeka – Penipuan digital makin meresahkan masyarakat Indonesia. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Indonesia Anti Scam Center (IASC) menunjukkan total kerugian akibat penipuan online telah menembus Rp 2,6 triliun hingga Mei 2025.
Skema kejahatan siber di Indonesia terus berkembang. Modusnya beragam, mulai dari pencurian identitas, pembobolan akun, pemalsuan dokumen, hingga pemanfaatan teknologi canggih seperti deepfake.
Pelaku bekerja secara terorganisasi dan menyasar titik-titik lemah pada berbagai sistem.
Privy, perusahaan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) yang berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Digital RI, menilai keamanan digital tidak bisa lagi ditangani secara terpisah-pisah.
Baca juga : Siapkan Anggaran Jumbo Rp 4 Triliun, DKI Gaspol Atasi Banjir
CEO Privy Marshall Pribadi mengatakan, saat ini diperlukan kerja sama lintas sektor untuk membangun ekosistem pertahanan digital nasional. Apalagi ancaman hari ini datang dari banyak arah.
“Yang diperlukan adalah pertahanan kolektif dan saling terhubung,” ujarnya dikutip saat diskusi di Jakarta, Sabtu (19/7/2025).
Salah satu langkah konkret yang mulai diterapkan oleh lembaga keuangan adalah penggunaan identitas digital terpercaya dan tanda tangan elektronik tersertifikasi.
Teknologi ini memungkinkan proses verifikasi identitas dan dokumen berjalan lebih cepat dan akurat dibanding cara manual yang mudah dimanipulasi.
Baca juga : ASDP Catat Pendapatan Rp 5 Triliun, Efisiensi Jadi Kunci di Tengah Tantangan
Marshall menekankan bahwa sistem digital antar lembaga harus saling terhubung agar bisa berbagi sinyal risiko secara real-time. Ketika satu institusi mendeteksi aktivitas mencurigakan, informasi itu seharusnya bisa diakses oleh lembaga lain untuk mencegah kerugian lebih lanjut.
Dalam sistem ini, keberadaan PSrE menjadi sangat penting karena menjadi dasar kepercayaan antar pengguna digital.
Sebagai salah satu PSrE aktif, Privy juga menyediakan certificate warranty jaminan ganti rugi jika terjadi kesalahan verifikasi yang mengakibatkan kerugian.
“Kalau dokumen ditandatangani oleh orang yang ternyata bukan pihak sebenarnya dan menimbulkan kerugian, kami sebagai PSrE wajib bertanggung jawab,” tegas Marshall.
Baca juga : Pramono Anggarkan Rp 4 Triliun Untuk Kendalikan Banjir Ibu Kota
Meski teknologi makin canggih, edukasi masyarakat tetap menjadi pilar penting dalam menjaga keamanan digital. Masyarakat diminta lebih waspada sebelum memproses dokumen digital.
“Kalau belum terbukti asli, anggap palsu dulu. Jangan langsung percaya,” pesan Marshall.
Privy kini juga menggandeng regulator dan asosiasi untuk memperkuat standar keamanan digital nasional. Kolaborasi ini diharapkan mendorong lembaga keuangan, teknologi finansial (fintech), hingga instansi pemerintah mengadopsi sistem yang lebih aman dan terintegrasi.
“Ekonomi digital Indonesia harus dibangun di atas fondasi keamanan yang kuat. Ini kerja bersama semua pihak,” tandasnya.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.