Ambisi besar pemerintah membangun 3 juta rumah hingga 2029 terancam hanya menjadi wacana belaka. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah, menegaskan bahwa tanpa pembenahan menyeluruh terhadap ekosistem dan regulasi perumahan di daerah, program ini akan sulit tercapai.
“Industri properti itu tidak bisa dipaksa tumbuh kalau ekosistemnya sendiri belum sehat. Kita sebagai pengembang dan yang dinaungi asosiasi menginginkan industri properti ini berjalan dengan baik. Ekosistem perumahan harus mendukung. Sehingga apa yang menjadi target pemerintah (3 juta rumah) bisa terwujud dengan sistem yang benar-benar berpihak pada rakyat, khususnya MBR,” tegas Junaidi pada Majalah Property and The City, ditulis Rabu (16/04/2025).
Ia menyoroti sejumlah kebijakan daerah yang justru menjadi penghambat, salah satunya terkait pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Meski sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang mendorong penghapusan BPHTB bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), implementasinya dinilai jalan di tempat.
Baca Juga, Fakta Seputar IKN: Kepindahan ASN, Infrastruktur, Kota Hutan, dan Investasi Asing
“Saya lihat BPHTB tidak berjalan sukses. Pertama, Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu pastilah menjadi konsentrasi pemerintah daerah, iya kan? Kedua, daerah yang sudah membuat Perkada atau Perwali justru memberi syarat-syarat yang sangat menyulitkan MBR, seperti harus punya surat pengakuan miskin atau KTP sesuai domisili rumah. Padahal, orang beli rumah belum tentu langsung pindah KTP, kecuali sudah menempati rumahnya. Kalau KTP dipindah tiba-tiba batal pengambilan rumahnya atau ditolak oleh bank kan pasti ini jadi masalah,” terang Junaidi.
Kondisi ini menurutnya diperparah oleh belum adanya petunjuk teknis dan pelaksanaan dari pemerintah pusat, membuat tiap daerah menerapkan kebijakan dengan tafsir masing-masing yang akhirnya membingungkan masyarakat dan pengembang.
Tak hanya soal BPHTB, Junaidi juga mengkritik pernyataan pemerintah soal penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang bisa keluar dalam satu jam. Menurutnya, pernyataan itu tidak berdasar dan jauh dari realita di lapangan.
“Tidak mungkin ya, tidak mungkin PBG itu satu jam. Kalau mengupload PBG itu kemungkinan bisa satu jam. Mengupload artinya memasukkan ke dalam sistem, baru keluar PBG-nya,” kata Junaidi saat dihubungi Property and The City melalui panggilan telpon, Selasa (25/03/2025).
Ia menjelaskan, lamanya proses penerbitan PBG terjadi karena melibatkan banyak pihak, mulai dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Lingkungan Hidup, hingga konsultan teknis. Masing-masing instansi memiliki proses dan waktu tersendiri dalam menerbitkan dokumen pendukung PBG.
“Realitanya menuju PBG itu banyak proses yang dilalui terkait perhitungan dan lain sebagainya. Itu bisa makan minimal 2 bulan, itu yang bisa dijalankan minimal. Karena di situ banyak melibatkan institusi pemerintah lainnya, ada PU, ada PRBBN, ada lingkungan hidup, jadi tahap-tahapnya banyak,” jelas Junaidi.
Dalam hal pembiayaan, Junaidi menegaskan pentingnya kreativitas pemerintah dan perbankan. Ia menolak ketergantungan penuh pada APBN dan mendorong terobosan konkret, salah satunya melalui pembentukan Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) sebagai solusi pembiayaan untuk segmen MBR.
“Ya, dari awal kita sampaikan bahwa fiskal negara itu kan naik-turun. Terkadang stabil, terkadang juga tidak stabil—artinya, memang masih ada kekurangan. Nah, tentunya tidak bisa serta-merta selalu mengandalkan APBN. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PKP, harus punya kreativitas. Begitu juga lembaga pembiayaan lainnya seperti perbankan, mereka juga harus punya kreativitas,”kata Junaidi.
“Bunga yang murah, tenor yang panjang, itu kan salah satu solusi yang sangat dibutuhkan. Jadi untuk mengatasi ini, kita tidak bisa terbiasa hanya berharap kepada APBN. Harapannya, ya, muncul kreativitas dari masing-masing pihak, terutama dalam hal pembiayaan,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menilai pembentukan BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan) menjadi langkah strategis yang harus segera direalisasikan. Menurutnya, kehadiran lembaga ini akan menjadi penggerak konkret dalam mempermudah pembiayaan pembangunan rumah rakyat.
“Salah satu yang menurut saya paling cocok untuk membantu pembiayaan itu adalah terbentuknya BP3. Itu solusi konkret yang bisa mendorong pembangunan rumah untuk masyarakat MBR,” tegasnya.
Junaidi juga menegaskan bahwa masalah utama bukan pada ketersediaan pasokan rumah, melainkan lemahnya daya beli karena akses pembiayaan yang minim.
“Asosiasi dan developer prinsipnya itu terletak pada supply and demand. Yang rawan itu adalah demandnya banyak, tapi pembiayaannya kurang. Nah, solusinya yang saya tawarkan tadi terbentuknya segera BP3, itu solusinya. Nah, kalau pengembang, hanya tinggal menyesuaikan, apakah penyediaan dananya cukup atau tidak. Ini tinggal menyesuaikan saja. Jadi tidak ada, terkait pembiayaan itu, pengembang punya kreativitas sendiri. Yang punya kreativitas adalah perbankan atau pemerintah, terkait pembiayaannya itu,” jelasnya.
APERSI, kata Junaidi, tetap berkomitmen mendukung program perumahan nasional. Namun ia mengingatkan, tanpa intervensi regulasi yang cerdas dan berpihak, target ambisius tiga juta rumah hanya akan menjadi catatan optimistis tanpa realisasi di lapangan.

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/junaidi-abdillah-menegaskan-program-3-juta-rumah-sulit-tercapai/