Jalankan Desentralisasi, Koordinasi Pusat Dan Daerah Wajib Diperkuat

Nasional41 Dilihat



RM.id  Rakyat Merdeka – Belum optimalnya pelaksanaan otonomi daerah (Otda) disebabkan lemahnya koordinasi antara Pemerintah pusat dan daerah dan juga antar daerah, dalam hal ini antara Provinsi dan kabupaten/kota. Lemahnya pengawasan di daerah memperburuk pelaksanaan Otda.

Hal tersebut dilontarkan Anggota Badan Pengkajian Fraksi Golkar MPR Firman Soebagyo dalam diskusi bertajuk Hubungan Pusat dan Daerah serta Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Hadir juga dalam diskusi tersebut Senator DPD Dedi Iskandar Batubara serta Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Siti Zuhro.

Firman menuturkan, pada dasarnya otonomi daerah memiliki plus minus. Keuntungannya, daerah dapat mengelola sendiri urusan pemerintahan dan pembangunannya sehingga meningkatkan partisipasi masyarakat dan mempercepat pembangunan daerah.

Selanjutnya meningkatkan efektivitas Pemerintahan danpelayanan bagimasyarakat, meningkatkan kemampuan daerah dalam mengembangkan potensi dan keunggulan lokal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Sementara kekurangannya, dapat memperlebar ketimpangan pembangunan antara daerah yang kaya dan daerah yang miskin.

Baca juga : Tingkatkan Transparansi, Agrinas Palma Nusantara Luncurkan e-Procurement

“Karena tidak lagi dikenal dengan sistem subsidi silang ideal. Dulu ketika saya ikut membahas, saya mengusulkan bahwa otonomi daerah itu diawali melalui tingkat provinsi sehingga otonomi daerah bisa memberikan keseimbangan di mana peran gubernur lebih bisa mengontrol mengawasi secara langsung dan kemudian bisa melakukan terhadap kesenjangan tadi,” katanya.

Tak bisa dipungkiri, sambung dia, pendapatan asli daerah (PAD) antar pulau jawa dan luar jawa itu bervariatif. Sebab di beberapa daerah, ada yang memiliki PAD yang cukup tinggi, disisilain ada juga yang penerimaan daerahnya kecil sehingga sulit untuk melakukan pembangunan.

“Ini yang menyebabkan kebijakan antara Pemerintah pusat dan daerah tumpang tindih sehingga mengurangi efektifitas pemerintahan,” ujarnya.

READ  Ini 8 Alasan Game Mobile Legends Masih Terus Populer Di Indonesia

Kelemahan lainnya, sambungnya, kurangnya kapasitas daerah untuk mengelola urusan pemerintahan dan pembangunan secara efektif.

Harus diakui, kata dia, ada beberapa daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam besar, namun terkendala lantaran sumber daya manusianya rendah. begitu juga sebaliknya.

Dia lalu mencontohkan seperti Papua dan Jakarta. Ini pula yang menjadi tantangan dalam penguatan hubungan pusat dan daerah karena ketimpangan kapasitas SDM dan sumber daya alam yang ada.

Baca juga : Perwakilan Mahasiswa Apresiasi Dialog dengan Pemerintah di Istana Negara

“Inilah perlunya otonomi daerah itu harus kita kembangkan dan kemudian sentralisasi harus betul-betul digeser dengan kewenangan yang lebih besar terhadap masalah kepentingan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Sementara senator Dedi Iskandar menilai tidak optimalnya pelaksanaan sistem otonomi daerah lantaran banyaknya kewenangan daerah yang kini kembali ditarik ke pemerintahan pusat.

“Sejak reformasi, otonomi daerah adalah poin penting. Tapi hari ini kewenangan daerah makin terdistorsi. Undang-Undang Minerba, Cipta Kerja, sampai kebijakan fiskal justru menarik otoritas ke Jakarta,” ujar Dedi.

Menurut Dedi, desentralisasi sejatinya memiliki tiga tujuan utama: politik, ekonomi, dan administratif. Namun, kondisi saat ini justru membuat daerah kehilangan peluang untuk mengelola sumber daya alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Daerah yang kaya sumber daya, seperti tambang nikel atau batubara, justru masih dihantui angka kemiskinan tinggi. Kekayaannya lari ke pusat, masyarakat setempat tetap miskin,” ujarnya.

Lebih jauh Dedi menyoroti turunnya alokasi dana transfer ke daerah yang pada 2019 mencapai lebih dari Rp1.000 triliun, kini tinggal Rp 650 triliun atau sekitar 29,4 persen.

Baca juga : Kemendagri Sosialisasikan Pemutakhiran Kodefikasi-Nomenklatur Keuangan Daerah

“Kondisi ini membuat kepala daerah semakin terbatas dalam melakukan inovasi pembangunan,” tambahnya.

READ  Argo Bromo Anjlok Di Subang, Kemenhub Dan KNKT Selidiki Penyebabnya

Sementra itu, peneliti BRIN Prof. Siti Zuhro menilai selama ini relasi pusat-daerah dalam sejarah Indonesia memang selalu bergejolak. Dari demokrasi terpimpin di era Sukarno, sentralisasi Orde Baru di bawah Soeharto, hingga euforia otonomi pascareformasi.

Zuhro memperingatkan pola seragam ala pusat berisiko mengabaikan keragaman. Kabupaten maju, sedang, dan tertinggal dipaksa mengikuti resep yang sama. Zuhro menekankan, tanpa pemetaan menyeluruh terhadap daerah, kebijakan pusat berisiko salah sasaran.

Dia mencontohkan Jakarta yang tetap mendapat alokasi jumbo, sementara daerah perbatasan tertinggal. Dia lalu mencontohkan kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menurutnya harusnya untuk daerah 3 T (tertinggal, terdepan dan terluar) dan daerah yang stuntingnya masih besar.

“MBG itu harusnya di daerah 3T dan yang stuntingnya masih tinggi. Ngapain MBG di Jakarta,” tambahnya.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *