RM.id Rakyat Merdeka – Industri hulu minyak dan gas bumi (migas) kembali disorot sebagai elemen strategis dalam upaya menekan impor dan memaksimalkan manfaat hilirisasi migas nasional.
Rencana pengalihan impor migas senilai 15 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 240 triliun memperkuat pentingnya peran sektor hulu migas bagi ketahanan energi nasional.
Kesuksesan Indonesia dalam negosiasi penurunan tarif resiprokal era Presiden Donald Trump dari 32 persen menjadi 19 persen, disebut tak lepas dari komitmen Indonesia untuk mengimpor migas dari AS dalam jumlah besar.
Sayangnya, tren meningkatnya impor minyak belum bisa ditekan secara optimal. Impor minyak Indonesia tercatat melonjak dari sekitar 400 ribu barel per hari pada 2010 menjadi sekitar 1 juta barel per hari pada 2024.
Baca juga : Prabowo Sukses Kurangi Tarif Impor AS, Tonggak Penting Diplomasi Ekonomi
Lonjakan ini dipicu oleh kenaikan konsumsi dalam negeri yang tak diimbangi peningkatan produksi.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, industri hulu migas juga memegang peranan penting dalam keberhasilan program hilirisasi migas yang kini gencar digaungkan pemerintah.
“Pelaksanaan hilirisasi migas tanpa memperhatikan industri hulu migas nasional akan kehilangan esensinya. Hilirisasi migas akan menjadi relevan jika terdapat keberadaan industri hulu migas,” kata Komaidi, di Jakarta Rabu (23/7).
Menurut kajian Reforminer, investasi sebesar Rp 1 triliun di sektor hilir migas, khususnya industri petrokimia, bisa menghasilkan nilai tambah ekonomi hingga Rp 12,81 triliun jika bahan baku berasal dari produksi migas dalam negeri.
Baca juga : Akulturasi Budaya Kunci Harmoni Islam di Indonesia
Sebaliknya, jika bahan baku masih impor, nilai tambah yang dihasilkan justru menyusut jadi sekitar Rp 7,53 triliun. Sayangnya, industri hulu migas saat ini masih dibayangi banyak tantangan.
Beberapa hambatan yang dihadapi antara lain: rumitnya perizinan usaha, ketergantungan pada ladang tua (mature field) yang butuh perlakuan fiskal khusus, hingga risiko pergeseran masalah perdata menjadi pidana akibat tidak jelasnya pemisahan antara urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama (KKS) dengan keuangan negara.
Reforminer menilai, revisi terhadap Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001 mutlak diperlukan, agar kerangka hukum dan regulasi kembali sinkron dengan bentuk kontrak kerja sama yang berlaku.
Selama ini, hilangnya tiga elemen kunci dari UU Migas tersebut membuat ketentuan perundangan tidak selaras dengan praktik KKS di lapangan.
Baca juga : Asia Mas Realty Luncurkan Canggu Hills, Kavling Modern Di Bali
Dampaknya muncul ketidakpastian hukum, fiskal, hingga birokrasi yang berbelit. Tiga hal yang perlu dikembalikan ke dalam revisi UU Migas menurut Reforminer adalah: (1) penerapan prinsip assume and discharge dalam perpajakan KKS; (2) pemisahan urusan administrasi dan keuangan KKS dari keuangan negara; dan (3) penerapan model single door bureaucracy atau single institution yang menangani seluruh aspek perizinan dan administrasi KKS.
Jika hal tersebut dipenuhi, sektor hulu migas diyakini bisa kembali bergairah dan menopang hilirisasi yang berorientasi pada kemandirian energi serta peningkatan nilai tambah ekonomi nasional.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.