RM.id Rakyat Merdeka – Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam mengungkapkan, kebutuhan tenaga kerja untuk pekerjaan ramah lingkungan atau green job akan meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini seiring dengan percepatan transisi menuju industri hijau yang tengah didorong pemerintah dan pelaku usaha.
“Bahkan di internal kami, sudah dibentuk yang namanya capability center karena belum ada suplai tenaga kerja dari pendidikan formal. Ada bidang-bidang baru seperti pengembangan biofuel, photovoltaic, dan lainnya yang belum tersedia SDM-nya,” ujar Bob saat ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
Bob menilai masih terjadi ketidaksesuaian (missconnection) antara kebutuhan industri dan sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Ia menyayangkan belum banyak universitas yang memiliki mata kuliah khusus terkait energi hijau.
Baca juga : Bank Mandiri Rilis Kartu Kredit Desain Khusus Bersama Club Harley Davidson
“Ke depan, kita harapkan ada kurikulum hijau di universitas. Ini penting supaya SDM bisa menjadi sektor terdepan dalam mendorong industri hijau. Biasanya kan industri dulu baru cari SDM-nya. Nah, saya ingin balik, SDM-nya kita siapkan dulu agar mereka bisa jadi leading sector,” tegasnya.
Meski mendukung penuh pengembangan industri hijau, Bob mengingatkan bahwa transisi ini tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Ia mencontohkan pengalaman negara-negara Eropa yang terlalu ambisius dalam berinvestasi di sektor hijau hingga memicu greenflation atau inflasi hijau, yakni lonjakan harga akibat transisi energi yang tidak terkendali.
“Eropa sangat ambisius menjadi pemimpin industri hijau, tapi akibatnya terjadi over investment dan berujung green inflation. Jadi kita harus belajar dari sana. Jangan terlalu agresif tanpa memikirkan sisi pembiayaannya. Harus bijak,” ujar Bob.
Baca juga : Intip Kurikulum Pelatihan Di Mitsubishi Training Center
Ia menambahkan, target jangka pendek Indonesia saat ini adalah memastikan emisi karbon bisa ditekan hingga mencapai level datar (flat) pada 2030, sebelum mulai diturunkan secara bertahap.
“Sekarang fokusnya adalah bagaimana emisi bisa flat dulu sampai 2030. Itu harus dicapai lewat kombinasi antara pemanfaatan energi terbarukan dan efisiensi energi,” katanya.
Bob menegaskan, penerapan energi baru terbarukan (EBT) tidak bisa dijalankan secara tunggal karena biayanya yang tinggi. Maka dari itu, strategi efisiensi energi harus menjadi bagian integral dalam proses transisi tersebut.
Baca juga : Industri Sawit Masih Hadapi Tantangan Dari Domestik Dan Internasional
“Kalau hanya mengandalkan EBT, itu akan mahal sekali. Tapi kalau dikombinasikan dengan efisiensi, biaya bisa ditekan. Biaya yang turun ini bisa dilengkapi dengan penemuan energi terbarukan. Jadi dua-duanya harus jalan bersama, kalau tidak, cost-nya akan melambung tinggi,” tutupnya.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.