Jakarta, propertyandthecity.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali tertekan pada hari pertama perdagangan setelah libur Lebaran, Selasa (8/4/2025). IHSG terpantau berada di zona merah bahkan usai Bursa Efek Indonesia (BEI) mencabut penghentian sementara perdagangan atau trading halt.
Berdasarkan data RTI pukul 09.38 WIB, IHSG berada di posisi 5.987, merosot 522,92 poin atau 8,03 persen dibanding penutupan sebelumnya di level 6.510. Hanya 11 saham yang bergerak di zona hijau, sementara 586 saham terjun ke zona merah dan 52 saham stagnan. Nilai transaksi mencapai Rp 4,96 triliun dengan volume perdagangan sebanyak 4,54 miliar saham.
Sebelumnya, BEI sempat menghentikan sementara perdagangan saham pada pukul 09.00 WIB melalui sistem Jakarta Automated Trading System (JATS). Keputusan ini diambil sebagai respons atas penurunan IHSG yang mencapai ambang batas 8 persen.
“Tindakan ini dilakukan karena terdapat penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai 8 persen,” kata Sekretaris Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia Kautsar Primadi Nurahmad dalam keterangan resmi, Selasa (8/4/2025).
Ia menambahkan perdagangan akan kembali dilanjutkan pada pukul 09.30 WIB sesuai jadwal tanpa perubahan waktu.
“BEI melakukan upaya ini dalam rangka menjaga perdagangan saham agar senantiasa teratur, wajar, dan efisien sesuai dengan Peraturan Nomor II-A tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas dan diatur lebih lanjut pada Surat Keputusan Direksi BEI nomor Kep-00002/BEI/04-2025,” terangnya.
Sementara itu, data pergerakan IHSG pada awal pembukaan perdagangan pukul 09.01 WIB menunjukkan indeks sempat jatuh ke level 5.912, turun 598,55 poin atau 9,19 persen dari posisi sebelumnya. Hanya 9 saham yang melaju di zona hijau, sementara 552 saham berada di zona merah, dan 65 saham stagnan. Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 1,92 triliun dengan volume 1,59 miliar saham.
Salah satu pemicu tekanan tajam pada pasar adalah meningkatnya kekhawatiran global akibat perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif impor resiprokal dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Sektor Teknologi dan Saham Unggulan Rontok
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro mengungkapkan sektor teknologi mencatatkan pelemahan terdalam sebesar 10,38 persen, disusul sektor bahan baku (10,07 persen), dan sektor konsumer non-primer (7,63 persen).
Sementara itu, sejumlah saham unggulan atau big caps menjadi penekan utama IHSG. Saham PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) anjlok 14,57 persen ke level 3.460, disusul PT Bank Central Asia (BBCA) turun 12,94 persen ke 7.400, dan PT Bank Mandiri (BMRI) melemah 13,46 persen ke 4.500. PT Telkom Indonesia (TLKM) juga terkoreksi 14,94 persen ke 2.050, sementara PT DCI Indonesia (DCII) mencatat penurunan paling tajam sebesar 14,99 persen ke level 142.775.
Ketidakpastian Global Meningkat
Andry menjelaskan, pasar saham global tertekan oleh pengumuman kebijakan tarif impor baru dari Trump. Trump menetapkan tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua impor dan tarif yang lebih tinggi untuk negara-negara tertentu seperti China (34 persen), Vietnam (46 persen), dan Uni Eropa (20 persen), yang memicu kekhawatiran akan terjadinya perang dagang global baru.
Ia menambahkan, kebijakan ini memicu tekanan tajam di pasar ekuitas dunia, menimbulkan kekhawatiran atas inflasi, dan mendorong imbal hasil obligasi naik.
Sebagai bentuk respons, beberapa negara seperti China menerapkan tarif balasan sebesar 34 persen untuk semua produk impor asal AS mulai 10 April. Di sisi lain, Vietnam justru mengambil langkah sebaliknya dengan menawarkan penghapusan tarif impor dari AS. Situasi kian memanas saat Trump mengancam akan menaikkan tarif tambahan sebesar 50 persen untuk impor dari China, jika tidak ada pencabutan balasan paling lambat 8 April.
“Kebijakan ini menyebabkan penurunan tajam di pasar ekuitas global dan meningkatkan kekhawatiran atas tekanan inflasi, sehingga mendorong kenaikan imbal hasil obligasi,” jelas Andry, dikutip Selasa (8/4/25).
Ia pun menilai, kebijakan ini memperburuk ketidakpastian global dan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dunia melalui penurunan volume perdagangan dan meningkatnya tekanan biaya di berbagai sektor.
“Sentimen pasar kemungkinan tetap rentan dalam jangka pendek, seiring respons balasan dari negara-negara mitra dagang utama meningkatkan risiko konflik berkepanjangan,” ujarnya.
Andry juga mengingatkan, peningkatan tarif dapat menimbulkan risiko stagflasi di Amerika Serikat, di mana inflasi naik akibat harga impor yang melonjak, sementara pertumbuhan ekonomi tertahan. Jika tekanan inflasi bertahan, hal ini bisa memengaruhi ekspektasi pelonggaran suku bunga oleh The Fed.

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/ihsg-anjlok-9-usai-lebaran-perang-dagang-trump-jadi-biang-kerok/