Namanya tidak sepopuler Gunung Bromo yang berada di sebelahnya. Tetapi kalau Anda menyukai tantangan, Gunung Batok wajib Anda daki hingga ke puncaknya
Baca juga, LIFETIME ACHIEVEMENT AWARDS, GOLDEN PROPERTY AWARDS 2021
Gunung Batok berdiri kokoh di hadapan kami. Posisinya tepat di samping Gunung Bromo. Kawasan Bromo-Tengger dikenal sebagai kawasan wisata di Jawa Timur. Pemandangan padang savana dan Bukit Teletubbies dan upacara Kasada Gunung Bromo menjadi tujuan favorit wisatawan yang berkunjung ke Bromo. Dibandingkan Gunung Bromo yang tingginya 2.544 meter, Gunung Batok lebih tinggi sekitar 136 meter. Hanya saja Gunung Batok kalah populer dibandingkan dengan Gunung Bromo karena Gunung Batok tidak punya kawah.
Selain itu, untuk mencapai puncaknya perlu perjuangan lebih berat ketimbang mendaki Gunung Bromo. Padahal, Gunung Batok juga punya legenda yang tidak kalah unik dari legenda gunung tetangganya, Gunung Bromo. Konon, gunung ini terbentuk akibat seorang raksasa yang marah kepada Rara Anteng, nenek-moyang orang Tengger, karena gagal memenuhi permintaan Rara Anteng. Sang raksasa membuang batok alias tempurung kelapa yang dipakainya untuk mengeruk tanah dan membuat lautan, karena fajar sudah menyingsing.

Lereng-lereng Gunung Batok yang berselang-seling dengan jurang, membentuk alur-alur seperti gunung yang bekas dicakar godzilla.
Barulah saat berdiri di bawah kakinya ini, saya menyadari gunung ini tinggi dan besar sekali, dengan lereng-lerengnya yang menanjak
curam. Sangat kontras dengan saat melihatnya dari jauh, yang terlihat kecil dan pendek.
Luas puncak Gunung Batok kira-kira setengah lapangan sepak bola, terdiri dari tanah padat dan lapisan kerak pasir. Areanya datar namun
agak bergelombang di beberapa tempat. Dengan kontur tanah yang datar ini, tak heran kalau di puncak Gunung Batok sering dijadikan titik awal paralayang atau paragliding. Bahkan, helikopter bisa mendarat di sini, karena area datarnya cukup luas. Sebagian area puncak gunung ditumbuhi gerumbul tanaman cantigi yang berbuah kecil merah dan sering menjadi cemilan darurat oleh para pendaki.
Dari puncak Gunung Batok, kita bisa melihat keseluruhan area kawah Bromo yang masih mengepulkan asap putih. Tampak orang-orang
yang seperti titik-titik bergerak di anak tangga menuju kawah Bromo. Dari tempat saya berdiri, Gunung Semeru tampak jauh di selatan sana, dan puncak Pundak Lembu dan B29 di timur. Penanjakan yang penuh dengan menara-menara pemancar sinyal telepon ada di utara, dan lembah serta pegunungan di Kawasan Tengger di sisi barat.
Saya sudah kelima kali ini menjelajahi wilayah Bromo-Tengger. Namun belum pernah sekalipun mendaki Gunung Bromo. Di kunjungan
sebelumnya, saya diberi tahu oleh pemandu jalan tentang jalur-jalur pendakian menuju puncak Gunung Batok. Tandanya adalah garisgaris jalur trekking yang mengarah ke puncak. Tidak semua lereng mempunyai jalur trekking. Kalau tidak ada jalurnya, kemungkinan besar
jalur itu sangat curam sehingga susah atau tidak bisa didaki. Mendaki Gunung Batok bukan perkara mudah. Lebih sulit ketimbang
mendaki Gunung Bromo. Ilalang kering dan tanaman pakis pendek memenuhi jalur trek di depan kami. Jalurnya tak lebih dari lebar satu
lengan. Di bagian tengahnya, selebar ukuran telapak kaki, berupa ceruk sedalam betis, persis seperti bekas jalur ban sepeda motor kalau
melalui jalan tanah becek. Mungkin ini jalur aliran air dari atas, mungkin juga jalur trekking.
Untuk mendaki, kita harus menapaki sisi kanan atau kiri ceruk ini secara zigzag, tergantung di bagian mana yang lebih nyaman dan aman diinjak. Kedua tangan membantu naik dengan cara memegang ilalang atau pakis meranggas yang kira-kira akarnya masih kuat. Mendaki dengan menapaki ceruk itu akan lebih berat karena penuh oleh debu dan lurus menanjak sehingga kita akan sering merosot.
Di tengah pendakian, saya menyadari kalau lereng Gunung Batok tidak selandai yang saya duga sebelumnya. Saat dilihat dari jauh, sepertinya kemiringan lereng ini 45 derajat. Tapi begitu didaki, sepertinya kemiringannya 60 derajat. Memandang ke atas puncak, sepertinya kami tidak akan menemui jalur datar sebagai ‘bonus’.
Tangan saya sudah baret-baret karena memegang ilalang kering untuk membantu mendaki. Saya berniat memakai sarung tangan, tapi Pak Mul, pemandu jalan menasehati agar jangan memakai sarung tangan karena sarang tangan akan membuat kita tidak bisa merasakan akar ilalang masih kuat atau sudah rapuh. Dengan tangan telanjang, kita langsung dapat feeling kalau ilalang yang kita pegang itu akarnya. Makin ke atas jalur pendakian makin menanjak, dan saya sering meminta tolong ke Pak Mul untuk menarik saya karena kadang tanah yang akan dipijak berikutnya terlalu tinggi.
Kami meneruskan pendakian, dan target saya sekarang adalah mencapai sebatang pohon yang meranggas sendirian, kirakira 50 meter ke atas. Matahari bersinar dengan cerahnya, dan langit biru bersih di atas sana mendorong saya untuk meneruskan pendakian. Puncak gunung dan kawah Bromo yang mengepul di sisi kiri masih terlihat jelas, pertanda saya belum naik cukup tinggi.
Bendera warna putih yang berdiri miring di puncak Gunung Batok, sejak tadi sudah kami lihat, tapi rasanya kami tidak sampai-sampai juga ke sana. Puncak Bromo kini sudah tidak bisa kami lihat lagi karena terhalang lereng di kiri kami. Langit masih membiru di atas
Gunung Batok yang kini tampak makin mengerucut, berselimut ilalang yang kuning meranggas.
Alhamdulillah, sambil memegangi kedua lutut dan nafas tersengal-sengal, saya akhirnya menginjak tanah yang gundul, padat, dan
datar, dengan pohon-pohon cantigi tumbuh tak teratur di beberapa tempat. Saya sudah mencapai puncak Gunung Batok.
Saya berlari menuju titik tertinggi gunung ini yang ada di sisi utara, dan mengukur ketinggiannya dengan aplikasi Altimeter. Tercatat tingginya 2.418 meter. Tadi di awal pendakian di dekat pura, tingginya 2.132 meter. Dengan kata lain, kalau diukur vertikal, sebenarnya kami cuma mendaki 286 meter, dan itu butuh waktu lebih dari 2 jam!
-
-
Turis lokal melaju di jalan kecil
berselimut ilalang meranggas -
Pura Poten dan jeep-jeep yang makin mengecil di bawah
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/gunung-batok-tetangga-yang-kesepian/