Dari Rp115 juta ke Rp65 juta sebulan, pemangkasan gaji DPR jadi simbol kemenangan protes jalanan. Tapi benarkah jurang keadilan sudah mengecil?
Gemuruh demonstrasi pada akhir Agustus dan awal September 2025 memaksa koreksi cepat: tunjangan rumah Rp50 juta/bulan dihentikan efektif 31 Agustus, dan “take-home pay” plus tujangan anggota DPR kini sekitar Rp65–65,5 juta per bulan. Kabar itu meredam api, tetapi tidak memadamkannya. Di tengah ongkos hidup yang merangkak, UMP Jakarta 2025 hanya Rp5,39 juta dan rata- rata upah buruh nasional terbaru dari BPS sekitar Rp3,09 juta (Agustus 2024: Rp3,27 juta), jarak psikologis dan politik tetap menganga.
PDB per kapita Indonesia 2024 berada di Rp78,62 juta per tahun (sekitar Rp6,55 juta per bulan). Dengan asumsi 580 kursi DPR periode 2024–2029, maka skema gaji Rp65 juta menyedot Rp0,452 triliun per tahun dari APBN hanya untuk komponen gaji+tunjangan pribadi di luar biaya staf, kantor dapil, perjalanan dinas, dan dukungan kelembagaan lain. Ini bukan angka yang “menghukum”, tetapi cukup untuk menuntut hubungan baru antara kompensasi dan kinerja.
Standar regional sering dijadikan tameng. Di Singapura, anggota parlemen menerima paket tahunan sekitar SGD192.500 (± SGD16 ribu/bulan) dengan komponen variabel yang ikut naik-turun mengikuti ekonomi; Thailand menggaji anggota legislatif sekitar THB113.560 per bulan; Malaysia menurut klarifikasi Kantor PM Maret 2025 memberlakukan fixed allowance RM25.700/bulan di luar klaim tugas resmi. Indonesia memang tidak “tertinggi” di kawasan, tetapi keadilan tidak diukur lintas-negara secara buta; ia diukur terhadap daya beli dan produktivitas domestik.
Maka, pertanyaan tepatnya: berapa gaji wajar bagi kursi legislatif di ekonomi sebesar Indonesia, dan bagaimana mekanisme yang menjaga wajar itu tetap otonom dari selera politik? Redaksi menawarkan tiga pilar.
Pertama, rumus baku yang mengikat. Gaji dasar ditautkan pada median upah pekerja formal (bukan rata-rata yang bias ke atas), dengan koefisien 4–6 kali; komponen variabel maksimal 1×median, ditentukan oleh KPI keras: keterlibatan kerja parlementer (kehadiran di sidang dan alat kelengkapan), produktivitas legislasi prioritas, serta layanan dapil berbukti. Dengan median/average upah BPS di kisaran Rp3,1–3,3 juta dan UMP DKI Rp5,39 juta, koridor wajar berada pada Rp35–50 juta/bulan. Rumus ini otomatis menyesuaikan inflasi dan dinamika pasar kerja; ketika ekonomi melemah, kompensasi pejabat tidak kebal dari siklus.
Kedua, mengganti uang tunai dengan fasilitas nyata plus bukti. Skema perumahan berbasis rumah dinas sederhana (bukan tunai), transport dan reses reimburse berbasis e-receipt dengan plafon hemat, serta anggaran staf/kantor dapil dibayarkan langsung oleh Setjen kepada pegawai/penyedia jasa. Struktur seperti ini menutup “premi moral hazard” dari lumpsum tunai dan memindahkan fokus dari konsumsi pribadi ke layanan publik.
Ketiga, transparansi real-time dan pengawasan substantif. Dasbor publik bulanan yang bisa diunduh CSV (Comma-Separated Values) menayangkan komponen gaji, perolehan variabel, tingkat kehadiran, perjalanan dinas, program reses, hingga kontrak staf. Audit BPK triwulanan ditambah audit forensik acak tahunan dengan mekanisme clawback uang salah bayar wajib kembali. Agar arsitektur ini tahan siklus politik, bentuk Badan Remunerasi Pejabat Publik independen untuk meng-update koefisien dan KPI lima-tahunan melalui public hearing, meniru praktik badan remunerasi di yurisdiksi maju alih-alih negosiasi senyap antarlembaga.
Untuk memperjelas implikasi fiskal, mari kita hitung secara bersih. Dengan 580 kursi aktif, gaji+/tunjangan pribadi Rp65 juta menyerap Rp0,452 triliun/tahun. Jika dipakai nilai yang wajar Rp50 juta, beban turun ke Rp0,348 triliun; jika Rp35 juta, beban hanya Rp0,244 triliun. Artinya penghematan Rp104 miliar–Rp209 miliar per tahun yang bisa dialihkan, misalnya, ke beasiswa vokasi, puskesmas rawat inap, atau insentif penurunan stunting. Ini bukan sihir akuntansi; ini disiplin fiskal.
Di kubu penyeimbang, memang benar kerja legislatif memerlukan jejaring, staf, dan mobilitas yang tidak murah. Itulah sebabnya dukungan operasional harus ditinggikan standarnya tetapi dipisahkan dompetnya dari kompensasi pribadi ring-fencing yang meminimalkan konflik kepentingan. Pada saat yang sama, publik juga berhak tahu berapa biaya real untuk setiap satu RUU berkualitas atau satu program reses yang berujung solusi: value for money bukan jargon, melainkan kontrak sosial.
Akhirnya, kita kembali ke pangkal rasa. Data BPS menunjukkan denyut upah buruh/pegawai yang masih ramping; PDB per kapita menanjak, tetapi tidak merata dalam genggaman rumah tangga; tunjangan DPR yang “dinormalkan” ke Rp65 juta memang satu langkah, namun belum satu lompatan. Keadilan dalam definisi ekonomi politik baru terasa ketika kompensasi pejabat publik bergerak bersama ekonomi rakyat dan bergantung pada kinerja, bukan pada keberuntungan kursi. Menautkan gaji DPR pada median upah, menukar tunai dengan fasilitas berbukti, dan menaruh semuanya di bawah lampu sorot data adalah paket minimal untuk mengembalikan kepercayaan. Di republik yang sehat, gaji pejabat bukan hadiah; ia cermin dari ekonomi yang dilayaninya.
Catatan sumber utama: rincian pasca-pemangkasan Rp65–65,5 juta/bulan (Bisnis.com; Bloomberg Technoz); UMP DKI 2025 (Hukumonline); rata-rata upah buruh BPS 2024–2025 (BRS BPS; ringkasan Goodstats); PDB per kapita 2024 (Kontan merujuk BPS); gaji parlemen Singapura (IPU Parline), Thailand (Bangkok Post), dan Malaysia (PMO via Malay Mail). (lex)

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/gaji-dpr-turun-apakah-sudah-mewakili-rasa-keadilan/