Jakarta, Propertyandthecity.com – Tantangan ekonomi Indonesia di paruh pertama 2025 masih tergolong berat. Meski pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi demi menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, namun realisasi di lapangan berbicara sebaliknya.
Pada triwulan I 2025, pertumbuhan ekonomi nasional tercatat hanya 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/YoY), tertinggal dari target 5 persen. Perlambatan ini menandakan bahwa pemulihan pasca pandemi dan tekanan global belum sepenuhnya teratasi.
“Masih ada tekanan besar terhadap daya beli masyarakat,” ujar Abra Talattov, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dalam sebuah diskusi publik, (29/07/2025).
Fenomena rohana (rombongan hanya nanya) dan rojali (rombongan jarang beli) menjadi simbol perlambatan konsumsi. Menurut Abra, masyarakat kini cenderung menunda pembelian dan memilih menabung. Di sisi lain, sebagian konsumen hanya membandingkan harga barang secara langsung, sebelum memutuskan untuk membeli secara daring di platform e-commerce.
Meskipun angka kemiskinan secara nasional menunjukkan tren menurun – dari 8,57 persen pada September 2024 menjadi 8,47 persen per Maret 2025 – distribusinya belum merata. Di kawasan perdesaan, tingkat kemiskinan masih tinggi di angka 11,03 persen. Yang lebih memprihatinkan, terjadi kenaikan kemiskinan di kawasan perkotaan, dari 6,6 persen menjadi 6,73 persen.
“Wilayah urban sangat sensitif terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok, ongkos transportasi, dan biaya tempat tinggal,” ujar Abra. Hal ini diperparah oleh pendapatan masyarakat perkotaan yang cenderung stagnan, terutama karena mayoritas bekerja di sektor informal.
Konsekuensinya, konsumsi masyarakat kota bergeser ke prioritas kebutuhan dasar. Belanja untuk sektor properti, hiburan, atau gaya hidup kian ditekan. “Ada pergeseran perilaku konsumsi yang menunjukkan kerentanan sosial ekonomi kelompok kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Baca Juga: Sri Mulyani Setujui Perpanjangan Insentif PPN DTP 100 Persen hingga Akhir 2025
Meski Rasio Gini Indonesia tahun ini membaik ke level 0,375 – di bawah target 0,379-0,382 – pemerataan pendapatan tetap menjadi tantangan.
World Inequality Report mencatat, kelompok 10 persen teratas menguasai pendapatan hampir 19 kali lipat lebih besar dari 50 persen terbawah.
Riza A. Pujarama, peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, menilai bahwa penurunan kemiskinan belum disertai pemerataan kesejahteraan. Ketimpangan desa-kota, produktivitas rendah, serta keterbatasan fiskal daerah menjadi akar masalahnya.
Ia menambahkan, koperasi desa berpotensi menjadi solusi alternatif. Namun, upaya ini membutuhkan penguatan sumber daya manusia, pengawasan yang ketat, dan pendekatan bottom-up agar tidak terjebak pada stagnasi dan praktik koruptif.
“Pemerintah perlu mempercepat hilirisasi industri, memperluas akses pendidikan, dan mendesain bantuan sosial yang transformatif agar pertumbuhan tidak hanya nominal, tapi juga berkualitas,” tandas Riza. (*)

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/ekonomi-melemah-masyarakat-kota-alami-tekanan-konsumsi-dan-kenaikan-kemiskinan/