RM.id Rakyat Merdeka – DPR menanggapi positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menilai langkah MK ini jadi momentum penting untuk menata ulang sistem pemilu Indonesia.
Ia menyebut, pemisahan jadwal pemilu tak sekadar teknis, tapi menyentuh dasar tata kelola politik. “Putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaannya perlu penyesuaian,” kata Zulfikar dalam keterangannya, dilansir ANTARA, Jumat (27/6).
Menurutnya, pemilu nasional dan daerah memiliki karakter berbeda, sehingga tak bisa terus dipaksakan berlangsung serentak. Pemisahan waktu akan membuka ruang pembenahan sistem secara lebih dalam.
Zulfikar menegaskan DPR menghormati putusan tersebut. Ia menyebut MK memang berwenang menentukan konstitusionalitas sebuah undang-undang.
“Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” ujarnya.
Baca juga : Pemegang Saham Setujui Pemisahan UUS CIMB Niaga Jadi Bank Umum Syariah
MK sebelumnya memutuskan pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu. Rentangnya paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan pejabat nasional. Pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sementara pemilu daerah meliputi DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah dan wakilnya.
Menurut Zulfikar, putusan ini memperjelas posisi pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu yang utuh. Karena itu, terbuka peluang agar pengaturan pilkada masuk dalam UU Pemilu secara terkodifikasi sesuai arah kebijakan dalam RPJPN 2025–2045.
Secara teknis, pemisahan ini juga dianggap memudahkan rakyat dalam menggunakan hak pilihnya. Di sisi lain, penyelenggara pemilu tak lagi terbebani jadwal yang saling tindih.
Legislator dari Dapil Jawa Timur III ini juga berpandangan, putusan MK ini sekaligus memperkuat kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi tetap, bukan lembaga ad hoc. Zulfikar menyebut, langkah MK membuka jalan lahirnya budaya politik baru.
“Putusan MK ini memperkuat prinsip bahwa kita merupakan negara kesatuan yang didesentralisasikan. Harapannya, bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah.”
Baca juga : Menag: Penerbangan Pemulangan Jemaah Haji Sudah Mulai Lancar
Putusan MK ini tidak datang tiba-tiba. Mahkamah menelaah perjalanan pemilu sejak 2004 hingga 2024. Selama dua dekade itu, hampir semua pemilu nasional dan lokal ditumpuk dalam tahun yang sama. Desain ini membuat tahapan jadi sempit dan padat. Istilah yang dipakai Mahkamah: pertumbungan dan perimpitan.
Kondisi itu berdampak besar. Penyelenggara pemilu terbebani kerja berlapis. Kualitas pemilu pun ikut terdampak. Bahkan, MK menyoroti kejadian Pemilu 2019 saat banyak petugas jatuh sakit dan meninggal dunia akibat padatnya beban kerja.
Masalah tak berhenti di situ. Pemilu yang terlalu berdekatan juga menyulitkan partai menyiapkan kader. Dalam waktu sempit, partai harus mengisi ratusan hingga ribuan posisi di berbagai level. Mahkamah menyebut hal ini membuat partai lebih memilih calon populer daripada membina kader sendiri.
Dampaknya, politik makin pragmatis dan jauh dari idealisme. Proses pencalonan jadi transaksional. Pemilu makin menjauh dari cita-cita demokrasi yang sehat.
Di sisi lain, rakyat juga dirugikan. Pemilih jadi cepat jenuh. Dalam satu hari, mereka harus mencoblos banyak calon dengan waktu terbatas. Fokus pun terpecah. Hasilnya, kualitas pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat ikut menurun.
Baca juga : NasDem Yakin Pemerintah Siapkan Langkah Antisipatif
Apalagi, ketika pemilu lokal disatukan dengan pemilu nasional, isu pembangunan daerah tenggelam dalam pusaran isu pusat. Padahal, pembangunan lokal perlu sorotan tersendiri.
Atas pertimbangan itu, MK akhirnya memutuskan pemilu nasional dan lokal dipisah mulai 2029. Pemilu presiden dan DPR/DPD tetap dilaksanakan serentak. Tapi pemilu DPRD dan kepala daerah digelar dua tahun setelahnya.
Model ini dinilai lebih realistis dan tetap sesuai konstitusi. MK menegaskan, keserentakan pemilu tidak harus berarti digelar di hari yang sama. Yang penting, tetap ada hubungan logis dalam sistem presidensial.
Kini, tanggung jawab berpindah ke DPR dan Pemerintah. Masa transisi harus diatur lewat undang-undang. Termasuk soal masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.