Dari Florida ke Finlandia, Mereka Didik Anak-anak Jadi Penyelamat Jalan Raya

Nasional2 Dilihat


Dr. Devie Rahmawati

Dr. Devie Rahmawati

RM.id  Rakyat Merdeka – Setiap 24 detik, satu nyawa melayang di jalan raya. Sebagian besar, adalah mereka yang muda, belum dewasa secara emosi, dan mengemudi seperti sedang membuktikan jati diri. Menurut WHO, anak muda usia 15–29 tahun adalah kelompok paling rentan menjadi korban kecelakaan lalu lintas.

Sedangkan, menurut IIHS, pada tahun 2022, terdapat 2.883 remaja usia 13 19 tahun yang tewas di AS, akibat cedera dari kecelakaan lalu lintas. Dalam rentang usia 15 24 tahun, kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab utama kematian tidak disengaja (unintentional death). Lebih luas lagi, fatal crash rate untuk grup usia remaja (16 19), hampir 3 kali lebih tinggi, dibandingkan pengemudi usia 20 tahun ke atas, per jarak tempuh yang sama.

Penurunan pun terjadi, antara 1975 hingga 2023, ketika angka kematian di kelompok remaja turun sekitar 66 persen. Tetapi, angka tinggi tetap tersisa, yang menunjukkan potensi problem struktural dan kultural. Lalu lintas bukan sekadar soal rambu. Ia adalah urusan hidup dan mati. Sebelum kita ajarkan mereka mengemudi, ajarkan mereka mencintai nyawa. Kelompok muda bukan hanya korban, namun mereka juga membawa harapan.

Studi di barat menunjukkan bahwa, usia muda bukan hanya korban, tetapi juga periode penting untuk intervensi. Karena mereka baru mulai berkendara, maka pembentukan budaya dan kebiasaan tertib lalu lintas sejak dini, sangat berdampak.

Kenapa Generasi Muda Rentan?

Beberapa faktor versi IHHS (Insurance Institute for Highway Safety):

Pertama, kurangnya pengalaman dan keterampilan mengemudi, yang bertemu dengan kecenderungan mengambil risiko dengan kecepatan tinggi. Perilaku Impulsif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari karakteristik psikologis remaja.

Baca juga : Gen Z: Kuat Di Luar, Rapuh Di Dalam…

READ  Bos Sritex Pakai Kredit Rp 692,9 Miliar untuk Bayar Utang dan Beli Tanah

Kedua, perangkat kendaraannya lebih lemah: Riset IIHS menunjukkan bahwa remaja yang tewas, lebih sering mengemudikan kendaraan yang sudah tua (> 6–11 tahun), tanpa fitur keselamatan modern atau sistem bantu pengereman canggih. 

Ketiga, budaya lalu lintas yang belum matang. Di kota‐kota besar, norma tertib berlalu lintas, sering kalah oleh “gaya” ataupun “kecepatan”. Ditambah, kurang disiplin dalam penggunaan sabuk pengaman dan cenderung mengemudi sambil menggunakan gadget. Maka, pendidikan bukan hanya soal teknis, tapi soal perubahan sikap.

Mengapa Pendidikan Budaya Tertib Lalu Lintas Penting?

Karena, jika hanya mengandalkan penegakan hukum, kita akan terus mengejar angka pelanggaran tanpa menyentuh akar perubahan, yaitu budaya. Generasi muda sekarang adalah pengemudi, penumpang sekaligus pengguna jalan, yang akan menentukan bagaimana jalan‐jalan kita 10 hingga 20 tahun ke depan. 

Jika mereka tidak memahami, tidak peduli, atau tidak “tertib”, maka jalanan akan tetap penuh risiko. Pendidikan secara sistemik (di sekolah, kampus, komunitas) memungkinkan tertib berlalu lintas menjadi bagian dari identitas generasi muda, bukan sekadar kewajiban.

Di Jakarta, ribuan pelajar naik motor ke sekolah setiap pagi. Mereka tidak hanya memenuhi jalan, tapi juga mengisi budaya. Apa yang mereka lakukan akan ditiru. Kalau mereka taat, teman-temannya ikut. Kalau mereka pakai helm, adiknya bangga. Kalau mereka jadi duta jalanan, satu sekolah berubah. Social learning theory (Bandura) menyebut bahwa perilaku yang baik lebih efektif ditularkan oleh rekan sebaya ketimbang oleh otoritas. 

“Dari Florida hingga Finlandia: Duta muda adalah ujung tombak keselamatan jalan.” 

Baca juga : Dari Warna ke Perlawanan: Saat Ojol dan Diaspora Buka Bab Baru Demokrasi Kita

Florida punya Teen Traffic Safety Ambassador Program yang melatih pelajar menjadi juru bicara, pembuat konten, dan penggerak komunitas soal lalu lintas. Sedangkan India mendorong siswa SMA menjadi brand ambassador keselamatan jalan karena dinilai lebih didengar oleh rekan-rekan seusia mereka. Swedia bahkan menyusun kurikulum lalu lintas di sekolah sejak usia 10 tahun karena percaya bahwa tertib adalah hasil pendidikan, bukan hukuman.

READ  Bertamu Ke Kantor Ara Gubernur Dedi Bahas Mitigasi Bencana Rumah Panggung

Best practices global ini menunjukkan: perubahan budaya tertib lalu lintas tidak datang dari tilang, tapi dari teladan. Melalui duta muda, kita dapat memanfaatkan pendekatan peer to peer, pendidikan kolega, kampanye kreatif, dan menjangkau kelompok yang paling rentan dengan cara yang relevan.

“Ambassador itu bukan wajah semata. Mereka adalah cermin harapan dan kesadaran berjamaah”

Bayangkan, seorang pelajar berdiri di hadapan adik kelasnya, bukan untuk menakut-nakuti, tapi berkata: “Kalau kamu mau kuliah di luar negeri, jadi influencer, sukses di hidupmu, kamu harus mulai dari satu hal: selamat sampai tujuan.”

Itulah kekuatan kampanye dengan metode “ambassador”. Ia bukan menyuruh, tapi menginspirasi. Bukan menyalahkan, tapi menggerakkan. Karena aturan tidak berubah menjadi budaya tanpa narasi yang menyentuh.

Jalanan adalah panggung pendidikan karakter terbesar di Indonesia, karena melatih disiplin lewat lampu merah; merawat empati dengan memberi jalan; serta membangun kesadaran ketika mengenakan helm bukan demi polisi, tapi demi ibu di rumah.

Baca juga : Roblox: Dunia Permainan atau Perangkap Anak, yang Mengintai di Balik Layar?

Di sinilah strategi edukasi dan kampanye berbasis youth empowerment menjadi sangat penting. Seperti yang dilakukan program Teen Traffic Safety Ambassadors di Amerika, Inggris, India, misalnya, dimana pelibatan pelajar sebagai brand ambassador keselamatan jalan terbukti mampu menurunkan perilaku ugal-ugalan (berbasis studi longitudinal); meningkatkan kepatuhan terhadap rambu dan penggunaan helm/sabuk pengaman; menciptakan efek peer-to-peer influence yang lebih efektif dibanding ceramah dari otoritas.

Mimpi Indonesia Emas, Harus Lewat Jalan yang Aman

Jika kita ingin generasi emas 2045 hadir utuh, bukan sekadar dalam statistik atau narasi, maka kita harus mulai dari hal yang paling dasar dan krusial: keselamatan di jalan raya.

READ  Industri Hulu-Hilir Gas Kian Strategis, Jadi Motor Asta Cita

Tidak ada bangsa besar yang dibangun di atas jalan yang berdarah. Dan tidak ada masa depan yang bisa diselamatkan, jika anak mudanya terus jadi korban di persimpangan. Mari bentuk mereka. Bukan hanya menjadi penghafal peraturan. Tapi menjadi pembawa terang di jalan raya. Karena nyawa itu suci. Dan generasi muda, adalah juru selamatnya.

“Kalau generasi muda bisa jadi selebgram, kenapa tidak jadi role model di jalanan?”

Dr. Devie Rahmawati

Associate Professor Vokasi UI


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *