Jakarta, propertyandthecity.com – Banjir kembali melanda Bekasi, menimbulkan pertanyaan lama yang belum terjawab: siapa yang bertanggung jawab? Ali Tranghanda, Property Expert dari Indonesia Property Watch, menegaskan permasalahan ini bukan semata-mata kesalahan pengembang, tetapi juga kebijakan tata ruang yang semakin longgar.
“Setiap izin yang diajukan pengembang harus mendapat persetujuan dari pemda dan Bapeda. Namun dalam praktiknya, tata ruang kerap berubah menjadi ‘tata uang’,” ujarnya.
Ali juga menyoroti maraknya konversi lahan hijau menjadi kawasan pemukiman, meskipun aturan jelas melarangnya. “Setiap wilayah memiliki rasio ruang terbuka hijau yang wajib dijaga, tetapi kenyataannya, area hijau semakin menyusut akibat lemahnya pengawasan,” tambahnya.
Selain itu, Ali mengkritisi tata perencanaan yang tidak konsisten. Ia menjelaskan bahwa site plan yang diajukan pengembang sering kali berubah setelah disahkan, dengan luas lahan komersial yang semakin bertambah. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau.
Lebih jauh, Ali menyebut masih maraknya praktik uang siluman dalam perizinan. Dari proses di Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), pungutan liar masih menjadi hambatan dalam sistem perizinan yang seharusnya transparan.
Kita sangat prihatin dan berharap tidak banyak korban dalam kejadian ini. Fenomena banjir yang terus berulang, bukan hanya setiap tahun, tetapi hampir setiap kali hujan besar melanda, membuat banyak pihak bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi?
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, juga sempat menyebut masalah ini mungkin ada kaitannya dengan kesalahan pengembang serta perencanaan tata ruang yang kurang baik di berbagai wilayah. Namun, menurut Ali, meskipun pendapat tersebut beralasan, permasalahan utamanya adalah mengapa hal ini terus berulang tanpa ada upaya perbaikan yang signifikan.
Ali juga mengungkapkan, perencanaan tata ruang di Indonesia masih banyak yang tidak sinkron. “Antara satu provinsi dengan provinsi lain, bahkan antar kota yang berbatasan, sistem drainase sering kali tidak nyambung. Ada beberapa lokasi di mana saluran air terputus begitu memasuki batas administratif yang berbeda,” ujarnya.
Masalah ini tidak hanya terjadi di perbatasan provinsi, tetapi juga di antara perumahan-perumahan yang dikembangkan oleh berbagai pengembang. “Satu pengembang membangun sistem drainase sendiri, tetapi tidak ada kesinambungan dengan kawasan lain. Akibatnya, air menggenang dan akhirnya meluap ke mana-mana,” tambahnya.
Situasi ini sebetulnya sudah lama menjadi isu klasik, tetapi hanya segelintir pemda yang benar-benar sadar akan pentingnya penataan yang lebih baik. Namun, meski ada kesadaran, implementasi solusi di lapangan masih jauh dari maksimal.
Sebagai solusi, Ali menyerukan agar pemerintah turun tangan lebih tegas. “Kepala BPN, Kemendagri, Kementerian PUPR, dan PKP harus bersinergi dalam mengatasi permasalahan ini. Jangan selalu menyalahkan pengembang, karena ada banyak faktor lain yang berkontribusi dalam tata kelola perumahan,” tegasnya.
Dengan regulasi yang lebih ketat dan transparan, diharapkan tata ruang dapat dikelola lebih baik, sehingga permasalahan banjir akibat alih fungsi lahan dan infrastruktur yang tidak terintegrasi dapat dikurangi di masa mendatang.
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/banjir-bekasi-terus-berulang-bukti-tata-ruang-yang-gagal/