Di tengah kian padatnya kota dan makin terbatasnya ruang untuk bernapas, merancang hunian bukan lagi sekadar menyusun dinding dan atap, melainkan sebuah seni untuk menghadirkan kenyamanan dalam keterbatasan. Bagi Shiddiq Wangsaputra, CEO PT Attaya Arsitek Indonesia, tantangan tersebut justru menjadi ruang untuk melahirkan inovasi: memadukan fungsi, estetika, dan rasa nyaman dalam setiap jengkal ruang yang diciptakan.
“Kalau kita mendesain hunian, itu yang pasti adalah kebutuhan yang makin banyak tetapi lahan yang makin sempit. Jadi pastinya kita harus pintar-pintar melakukan program ruang, menyusun program ruang, dan kemudian kita pintar-pintar juga berinovasi dalam sisi menata ruangnya,” ungkap Shiddiq.
Salah satu pendekatan yang kini banyak diterapkan adalah sistem split level, di mana tiap level tak hanya menjadi pemisah ruang, tapi juga ruang hidup yang fungsional, termasuk untuk kebutuhan penyimpanan yang seringkali luput dirancang dengan cermat.
“Di masing-masing level itu juga kita bisa manfaatkan untuk storage, untuk bagian-bagian yang memang dibutuhkan oleh klien,” jelasnya.
Menurut Shiddiq, salah satu tantangan utama dalam merancang hunian saat ini adalah meningkatnya kebutuhan ruang di tengah keterbatasan lahan yang tersedia. Harga tanah yang terus melonjak pun membuat ukuran rumah cenderung makin kecil.

Dalam kondisi seperti ini, desain bukan lagi sekadar soal menampung fungsi, tapi juga bagaimana menciptakan ruang yang tetap nyaman, fungsional, sekaligus enak dipandang.
“Kalau saya itu sebenarnya kenyamanan itu kan sudah wajib ketika kita punya rumah itu,” ucapnya. “Yang pertama, dari kenyamanan termal, kenyamanan visual itu semuanya harus dipenuhi dulu. Terus yang kedua, fungsi itu adalah satu hal utama karena dia yang menopang activity si user-nya,” tambahnya.
Ia menekankan satu ruang kini tak lagi melayani satu aktivitas. “Di zaman sekarang, satu ruang itu bisa berbagai macam activity. Siang jadi ruang makan, sore atau malam jadi ruang kerja. Tapi bagaimana itu bisa fungsional dan tetap nyaman,” ucapnya.
Dan mengenai estetika? “Estetika itu akan terbentuk dengan sendirinya. Jadi istilahnya estetikanya akan mengikuti,” ujar Shiddiq. Ia menyadari selera estetik adalah soal yang sangat personal, sering kali dipengaruhi oleh psikologi dan kepribadian pengguna ruang. “Kita sebagai arsitek, kita harus belajar sedikit tentang psikologis. Ini kliennya extrovert, atau misalnya introvert.”
Dalam praktiknya, Shiddiq bahkan mempertimbangkan hal-hal detil seperti preferensi klien terhadap pencahayaan dan suasana ruang, apakah menginginkan bukaan lebar yang menghadirkan langit terbuka, atau justru ruang yang lebih tertutup dan tenang untuk mendukung kenyamanan pribadi.
AI sebagai Kawan, Bukan Lawan
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, Shiddiq menilai kecerdasan buatan (AI) bukanlah ancaman bagi profesi arsitek, melainkan mitra strategis dalam proses kreatif.
“Bagi saya, AI itu adalah kawan. Karena saya kan pakai teknologi BIM, digital, kita menggunakan database. Jadi sebenarnya kita itu selalu keterbatasan waktu untuk eksplorasi,” ujar Shiddiq.
Menurutnya, AI sangat membantu dalam proses visioning, yakni diskusi awal dengan klien untuk menyusun arah dan visi desain. Dengan bantuan AI, arsitek dapat langsung menunjukkan alternatif visual kepada klien secara cepat, bahkan dalam pertemuan pertama.
“Walaupun AI sekarang belum sempurna, tapi untuk sebelum konsep desain, kita bisa iterasi AI depan klien. Jadi pada saat kita desain sudah benar-benar sesuai dengan keinginan dan kebutuhan klien. Itu bisa sangat cepat,” katanya.
Baca Juga, Cihuy! Ini Daftar Kereta yang Beri Diskon 30% Selama Libur Sekolah
Ia juga membagikan cerita tentang bagaimana penggunaan AI dapat memangkas waktu proposal dari tiga minggu menjadi satu hari. “Yang dapat proyek adalah yang keluar besok. Dan hasilnya tetap di-refine lagi dengan keahlian dia. Jadi istilahnya membantu kita berpikir,” jelas Shiddiq.
Proyek-Proyek Strategis
Attaya Arsitek telah menangani beragam proyek, dari residensial hingga komersial berskala besar. Untuk sektor hunian, salah satunya adalah proyek di Tangerang dengan lebar tapak hanya 8 meter. Di ranah komersial, Shiddiq menyebut partisipasi timnya dalam pengembangan kawasan stasiun kereta cepat Whoosh, baik di Halim maupun Tegalluar.
Yang paling berkesan menurutnya adalah proyek Pakuwon City Mall Surabaya, di mana Attaya bertindak sebagai lead consultant. “Itu 300 ribu square meters. Ada mal, hotel, apartemen. Dan itu sangat kompleks ya, karena memang mixed-use banyak fungsi dan banyak kepentingan di sana. Dan kita harus membuat integrasinya dari berbagai macam fungsi yang beda-beda,” paparnya.
Dengan pendekatan holistik, perpaduan kreativitas, teknologi, dan pemahaman mendalam akan kebutuhan klien, Attaya Arsitek terus berkomitmen menghadirkan karya yang adaptif terhadap tantangan zaman.

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://propertyandthecity.com/attaya-arsitek-rancang-hunian-masa-kini-yang-lebih-fungsional/