
BUDI RAHMAN HAKIM
RM.id Rakyat Merdeka – Di tengah lantang suara pertumbuhan ekonomi dan surplus fiskal, suara lirih kelompok rentan justru terabaikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menjadi panggung ujian nurani kebijakan. Ketika anggaran lebih banyak diarahkan untuk proyek-proyek besar, subsidi BUMN, dan belanja kementerian yang kadang repetitif, publik bertanya: di mana ruang bagi mereka yang hidup dengan penghasilan harian, tanpa asuransi, tanpa kepastian esok?
Anggaran sejatinya bukan hanya persoalan angka, tapi adalah nadi dari nilai. Amartya Sen, dalam bukunya Development as Freedom (1999), menekankan bahwa pembangunan yang sesungguhnya adalah yang mampu memperluas kebebasan substantif rakyat—terutama mereka yang paling tertindas. Namun, kita masih menyaksikan ironi: proyek teknologi canggih diluncurkan, sementara ada dapur warga miskin tak menyala.
Baca juga : Mengubah Korelasi Kepercayaan
Ketika inflasi pangan naik seperti yang terjadi bulan-bulan ini, dan angka kemiskinan stagnan sebagaimana data BPS September 2025, maka pos-pos anggaran yang tidak menyasar jaring pengaman sosial semestinya dipertanyakan. Kementerian Sosial, misalnya, masih mengalokasikan belanja operasional yang lebih besar dibandingkan penguatan komunitas akar rumput. Belanja untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pun stagnan, tanpa perbaikan mekanisme distribusi yang menyentuh akar.
Yang lebih mengkhawatirkan, pembahasan anggaran masih minim partisipasi rakyat. Riset dari FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) tahun ini mencatat hanya 12 persen usulan publik masuk dalam dokumen resmi RAPBN. Artinya, negara masih gagal mendengar. Publik bukan sekadar penerima, tapi juga pengamat dan penentu prioritas.
Baca juga : Kepada Warga, Bukan Proyek
Kita butuh transformasi paradigma anggaran: dari sekadar menghabiskan dana tepat waktu, menjadi menghidupi rakyat sepanjang waktu. Ini bukan sekadar perubahan teknis, tapi etika—apakah kita merancang negara dengan rasa, atau hanya dengan kalkulasi?
Dalam negara yang berdaulat dan berkeadaban, anggaran bukan hanya urusan efisiensi birokrasi, tapi juga ekspresi kasih sayang. Ketika negara menyusun angka tanpa empati, ia kehilangan wajah kemanusiaannya. Dan tanpa kemanusiaan, pembangunan hanyalah proyek sunyi di tengah luka sosial.
Baca juga : Reformasi Kebijakan Layanan
Kini, yang dibutuhkan bukan hanya audit fiskal oleh BPK, tapi juga audit rasa oleh nurani publik.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.