ABK Bukan Kelemahan, tapi Keberagaman Manusia

Nasional611 Dilihat



RM.id  Rakyat Merdeka – Suasana menggugah rasa mewarnai Diskusi Publik bertajuk “Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus & Refleksi Sosial Melalui Film Mama Jo”, di Auditorium Perpustakaan Panglima Itam NasDem Tower.

Agenda reguler dwi-mingguan Perpustakaan Panglima Itam yang dikepalai oleh Shanti Ruwyastuti ini menghadirkan pembicara kunci, yakni tokoh nasional Prof. Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Partai NasDem.

“Kehadiran saya bukan hanya sebagai bentuk komitmen politik, melainkan panggilan hati,’’ kata Siti Nurbaya dalam sambutannya, Jumat (18/7/2025).

Mantan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini mengenang keterlibatannya sejak awal dalam advokasi kelompok disabilitas bersama tokoh-tokoh, seperti Lestari Moerdijat alias Rerie, Wakil Ketua MPR RI dari NasDem.

Ia juga menyinggung pengaruh mendalam yang ia dapatkan dari film klasik tahun 1981 berjudul ”Detik-Detik Cinta Menyentuh”, yang menanamkan prinsip dalam dirinya: “Saya tidak boleh bodoh”.

Acara ini sekaligus menayangkan film ’’Mama Jo’’ karya sutradara Ineu Rahmawati, yang mengangkat perjuangan seorang ibu dengan anak cerebral palsy dalam mengejar pendidikan dan mimpi hidup layak.

Hadir pula anggota Komisi X DPR RI Prof. Furtasan Ali Yusuf, dan Ketua Dewan Pertimbangan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, Gufroni Sakaril, yang turut memberi pandangan.

Sedangkan moderator diskusi, Kepala Perpustakaan Panglima Itam Shanti Ruwyastuti. Dalam pidato reflektifnya, Siti menyoroti tiga aspek penting dari film Mama Jo.

Pertama, Keberterimaan Keluarga: Menyambut Takdir dengan Cinta.

Baca juga : Kasus Pemerasan, KPK Telisik Keterlibatan Mantan Menaker

Film ini menunjukkan bahwa cinta seorang ibu adalah kekuatan fundamental dalam tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus.

“Menjadi orang tua bukan sekadar peran biologis, tetapi tugas eksistensial, memelihara jiwa lain dengan seluruh kasih yang bisa diberikan,” ujar Siti.

READ  Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Apresiasi Dibukanya Wikinara Academy

Anak istimewa adalah amanah yang hanya bisa dijaga dengan hati yang siap diuji oleh waktu dan keadaan.

Kedua, Inklusi Sosial dan Pendidikan Setara: Mengejar Impian Tanpa Batas.

Jo, tokoh utama dalam film, bercita-cita menjadi polisi meski memiliki keterbatasan fisik.

Hal ini menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyamakan perlakuan, tapi menciptakan ruang yang menumbuhkan keunikan setiap anak.

Mengutip John Dewey, Siti mengingatkan: “Education is not preparation for life; education is life itself”.

Pendidikan sejati adalah yang menghormati keberagaman dan menjadikan empati sebagai jembatan.

Ketiga, Empati dan Menghargai Perbedaan: Membangun Keberterimaan Sosial.

Film Mama Jo menjadi cermin masyarakat. Bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk bermakna.

Baca juga : Pertamina Luncurkan PGTC 2025, Jaring Ribuan Inovasi Keberlanjutan Mahasiswa

“Anak istimewa tak butuh dikasihani, tapi dimuliakan,” tegas Siti.

Mengutip Martin Buber, ia mengajak semua untuk melihat anak disabilitas bukan sebagai “It”, melainkan “Thou” — subjek utuh yang harus dihormati dan diakui martabatnya.

Lalu, apa selanjutnya peran negara? Kita memahami sudah banyak langkah negara kita dalam hal ini. Namun, kita juga merasakan dibutuhkannya peran afirmasi bukan sekadar regulasi.

Negara punya peran moral untuk menjamin keadilan sosial bagi warganya paling rentan. Sebagiamana juga ditegaskan dalam UUD tentang hak-hak warga negara.

Afirmasi bagi anak berkebutuhan khusus bukanlah soal iba, tapi keharusan etik. Pemerintah harus hadir dalam bentuk kebijakan, di antaranya, pertama, mendukung dan mendorong kampanye publik.

Disabilitas bukanlah kelemahan, melainkan keberagaman kondisi manusia. Perlu kampanye edukasi sejak dini. Sekolah-sekolah melakukan perubahan persepsi.

Kedua, dukungan infrastruktur yang ramah disabilitas seperti lift, toilet, trotoar yang rata, penyediaan informasi dalam format yang mudah diakses, seperti huruf Braile, audio, dan bahasa isyarat.

READ  Dukung Gibran Karding Proses Pemilu Sudah Sah Tidak Bisa Dimakzulkan

Ketiga, dorongan empati, pendidikan inklusif dan berkualitas untuk mobilitas sosial anak-anak dalam memperoleh kesempatan sama untuk belajar.

Baca juga : Maqdir Nilai Kasus Hasto Bukan Penegakan Hukum, Tapi Beraroma Politis

Keempat, peluang kerja dan kemandirian ekonomi, penyediaan pelatihan dan ruang berdedikasi dengan keterampilan yang dimiliki; kesempatan kerja setara (misalnya dengan kuota wajib perusahaan).

Semua itu dapat menjadi langkah penting untuk menuju kemandirian bagi disabilitas.

Dunia kerja harus terbuka bagi Anak Berkebutuhan Khusus, bukan sekadar menerima, tapi mengakui potensi mereka.

“Kita paham bahwa berbagai hal telah dilakukan pemerintah, namun masih terus membutuhkan kebijakan afirmasinya untuk secara nyata ber-aktualisasi di lapangan,” kata Siti.

“ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) bukan kelemahan, tapi keberagaman manusia, baik secara fisik, mental, emosional, maupun cara belajar,” imbuhnya.

Siti menutup dengan pesan mendalam: “Keikhlasan adalah benih. Keberterimaan adalah tanah. Cinta adalah air. Bersama, mereka menumbuhkan kehidupan”.

Diskusi ini bukan sekadar refleksi atas film, tetapi juga panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk membangun Indonesia yang inklusif, tempat setiap jiwa diberi ruang untuk tumbuh, dengan caranya sendiri.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *