Membangun Resiliensi Hubungan Lintas Iman melalui Penguatan Literasi Digital

Nasional141 Dilihat



RM.id  Rakyat Merdeka – Terbukanya akses internet membuat anak-anak dan remaja mudah mendapatkan segala informasi. Walaupun memberi banyak manfaat, derasnya arus informasi ibarat pedang bermata dua. Jika gagal dalam mengelola informasi atau berita yang berkembang, dikhawatirkan membuat generasi muda, yang relatif lebih rentan mengkonsumsi narasi secara mentah, akan terjerumus pada tindakan intoleransi dan radikalisme.

Membahas cara menyikapi dampak negatif dari mudahnya mengakses konten digital, akademisi Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta, Pdt. Risang Anggoro Elliarso, menyoroti pentingnya memahami cara kerja algoritma konten digital. Dia menerangkan, media sosial seperti Facebook, YouTube, TikTok, Instagram, dan lainnya memiliki algoritma yang didesain untuk membantu penggunanya mendapatkan konten yang sesuai dengan preferensinya.

Pada dasarnya, ide ini memang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan si pencari informasi. Namun, belakangan mulai disadari bahwa algoritma ini juga menciptakan echo chamber effect

“Hal ini berarti orang hanya terpapar konten-konten yang sesuai dengan apa yang mereka sukai. Ini memainkan peran besar sehingga keyakinan apapun yang awalnya telah terbentuk menjadi semakin kuat,” terangnya, dalam keterangan yang diterima redaksi, Rabu (9/7/2025).

Baca juga : Pegadaian Sukses Raup Transaksi Rp 32 Triliun

Akibatnya, lanjut dia, mereka merasa bahwa pemikiran, perasaan, dan apa yang mereka pahami adalah yang paling valid dan benar. Padahal, di luar sana ada banyak pemikiran dan pandangan lain.

“Namun, karena echo chamber effect yang didorong oleh algoritma ini sangat kuat, narasi yang berbeda sebagai pembanding sulit untuk ditemui,” terang Pendeta Risang.

Dia berpendapat, sebagai upaya meminimalisasi dampak negatif dari sebaran konten digital, ada tiga hal yang perlu dipahami oleh masyarakat luas. Pertama, digital wisdom atau kearifan digital. Pengguna internet seringkali hanya memahami sampai pada literasi digital yang paling dasar. Publik harus bisa naik level sampai kecerdasan digital, bahkan kearifan digital, agar penggunaan dunia digital membawa kemaslahatan bagi bangsa dan kemanusiaan.

READ  Industri Kimia Jadi Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Kedua, cyber hate. Masyarakat luas perlu mengembangkan critical thinking bagi generasi muda. Dalam piramida penalaran, intuitive thinking itu paling rendah, hanya mengenali atau menghafal informasi. Di atasnya ada analytical thinking, yaitu membedah unsur informasi dan validitasnya. Namun, itu belum cukup. Publik harus naik ke critical thinking, yaitu bisa mempertanyakan informasi, mengidentifikasi misinformasi, disinformasi, atau malinformasi. Kita perlu naik level karena saat ini kita sering kewalahan oleh arus informasi yang sangat deras.

Baca juga : Hanya 13 Ribu yang Nikmati, Mekeng Minta Dana Pendidikan Kedinasan Dipangkas

Ketiga, metacognition. Yaitu kesadaran akan proses berpikir dan perasaan kita saat menerima informasi digital, terutama di media sosial. “Misalnya, kita perlu sadar ketika marah, jengkel, atau tertarik pada suatu informasi, lalu bertanya kenapa kita merasakan itu, dan meregulasi respons kita terhadapnya. Ini bagian dari critical thinking dan digital wisdom,” imbuh Risang.

Dia juga menyayangkan perihal kerusuhan yang terjadi saat retreat sekelompok pelajar Kristiani di Cidahu, Sukabumi. Risang berpendapat, kejadian tersebut menunjukkan pentingnya Indonesia untuk tidak hanya bisa bertoleransi, namun juga melangkah jauh untuk melampaui toleransi itu sendiri.

Pria yang aktif bertugas di GKJ Condongcatur ini menjelaskan, toleransi itu penting, tapi ia punya batasan. Menurutnya, toleransi itu baru sebatas “saya mentolerir keberadaan Anda, sejauh Anda tidak mengganggu dan bukan ancaman bagi saya.” Selama tidak saling bersinggungan, tidak masalah.

Namun, dalam kenyataan hidup, sesama manusia pasti bersentuhan dan bersinggungan. Sehingga konflik kepentingan bisa muncul kapan dan dimana saja.

Baca juga : 142 Ribu Pensiunan Kini Bisa Ambil Dana Pensiun Taspen Di Kantorpos

“Oleh karena itu, kita perlu melangkah lebih jauh, yakni menuju persahabatan. Persahabatan itu saat umat dari agama lain kita sambut sebagai sahabat, bukan sekadar ditolerir atau dibiarkan,” ungkap dosen di Universitas Gajah Mada ini.

READ  Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Masih Tinggi Awal 2025 Korban Di DKI Sudah Tembus 356 Orang

Risang pun mengimbau pada umat Kristiani untuk menghindarkan perasaan sebagai korban atau victim mentality, yang justru hanya akan memperkeruh suasana dan memperkeras batas in-group dan out-group. Dia pun secara aktif ikut memberikan kontranarasi bahwa fenomena serupa juga terjadi di tempat lain, misalnya di Papua, Manokwari, ada penolakan pembangunan masjid. Ini menandakan bahwa Indonesia punya masalah yang serius dalam merespons perbedaan dari berbagai tradisi dan keimanan.

“Kita harus bisa mengantisipasi potensi tindak intoleransi melalui hubungan persahabatan lintas budaya dan keimanan. Misalnya, di Sangen, lereng Gunung Merapi, ketika gereja dibangun, seluruh penduduk kampung yang Islam dan kejawen membantu. Begitu ada pembangunan masjid, semua juga membantu,” jelasnya.

“Teman-teman pendidik, orang tua, dan banyak pihak lainnya harus bekerja keras mengembangkan kemampuan literasi digital para generasi muda Indonesia. Selain itu, penting pula menjalin hubungan erat secara horizontal sehingga Indonesia tidak mudah dipecah belah,” pungkas Risang.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *