RM.id Rakyat Merdeka – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan dukungan penuh terhadap evaluasi kebijakan insentif otomotif oleh pemerintah.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebut insentif pajak yang tepat dapat menjadi katalis untuk mendongkrak penjualan mobil nasional dalam jangka pendek, sekaligus memperkuat basis industri otomotif jangka panjang.
“Gaikindo mendukung pemberian insentif pajak, karena terbukti efektif menaikkan penjualan, seperti yang terjadi pada 2021. Kami tidak meminta utang atau subsidi, hanya penundaan penyetoran pajak pada periode tertentu. Begitu pasar pulih, penerimaan negara akan kembali normal,” ujar Kukuh dalam diskusi Menakar Efektivitas Insentif Otomotif yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin), Senin (19/5).
Menurutnya, biaya komponen saat ini menyumbang sekitar 50 persen dari harga mobil. Oleh karena itu, pemberian insentif kepada semua jenis teknologi otomotif—baik ICE, hybrid, BEV, maupun LCGC—dinilai krusial untuk menekan harga dan mendorong permintaan.
Baca juga : Penjualan Masih Minim, Insentif Mobil Listrik Akan Dievaluasi
Kukuh menyebut, dengan insentif yang tepat, penjualan mobil nasional bisa menyentuh angka optimal 3 juta unit per tahun—setara dengan pasar otomotif Meksiko. Saat ini, penjualan mobil baru berkisar 1 juta unit per tahun, sedangkan mobil bekas mencapai sekitar 2 juta unit. “Jika potensi pasar mobil bekas bisa dikonversi ke mobil baru, angka 3 juta unit sangat mungkin tercapai,” katanya.
Jika target tersebut tercapai, para pelaku industri akan terdorong untuk memperluas kapasitas produksi, baik melalui ekspansi pabrik maupun pembangunan fasilitas baru. Langkah ini diyakini akan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan memberi dampak berganda pada ekonomi nasional.
“Setiap satu tenaga kerja di industri otomotif punya efek pengungkit ke dua orang. Otomotif adalah jembatan untuk memperkuat manufaktur. Jangan sampai manufaktur layu sebelum berkembang, karena potensi pasar kita sangat besar,” tegas Kukuh.
Gaikindo juga mendorong pemerintah untuk menyusun kebijakan otomotif jangka panjang yang fleksibel dan tidak terpaku pada satu teknologi saja. Kukuh menegaskan bahwa mobil hybrid, BEV, hingga kendaraan bermesin konvensional (ICE) dan LCGC masih memiliki peran strategis dalam transisi menuju kendaraan rendah emisi.
Baca juga : Sampaikan Duka Cita, Lola Minta Korban Ledakan Garut Dapat Perawatan Terbaik
“Mobil hybrid, misalnya, kini tengah naik daun di China. Teknologi terus berkembang cepat. Maka, kebijakan harus adaptif dan memberi manfaat luas,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) untuk pasar domestik maupun ekspor, sejalan dengan target produksi 600 ribu unit BEV pada 2030.
Kukuh menyoroti bahwa tingginya pajak menjadi salah satu penghambat utama akses masyarakat terhadap mobil baru. Di Indonesia, komponen pajak bisa mencapai 50 persen dari harga mobil, lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya sekitar 30 persen, meskipun PDB per kapitanya lebih tinggi.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah mengkaji ulang pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), terutama pada mobil-mobil dengan harga tertentu yang sebenarnya telah menjadi alat produksi bagi masyarakat.
Baca juga : Malam Ini, Bek Brazil Jadi Andalan Jaga Pertahanan Bali United
“Mobil sekarang bukan lagi barang mewah. Banyak yang menggunakannya untuk bekerja atau mencari nafkah. Maka, PPnBM pada segmen ini perlu dikaji kembali,” pungkasnya.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.