BUDI RAHMAN HAKIM
RM.id Rakyat Merdeka – Negara modern sering bangga dengan sistemnya yang rapi, terukur, dan digital. Semua diatur dengan algoritma, diukur dengan indeks, dan disaring lewat platform daring. Tapi, di balik efisiensi itu, sesuatu perlahan menghilang — wajah kemanusiaan. Warga kini tak lagi berhadapan dengan manusia, melainkan dengan sistem yang tanpa emosi, tanpa rasa, dan tanpa wajah.
Filsuf Korea-Jerman Byung-Chul Han, dalam The Transparency Society (2012), menulis bahwa dunia digital menciptakan masyarakat yang obsesif terhadap efisiensi dan keterbukaan, namun justru kehilangan kedalaman makna dan empati. Semua menjadi data, bukan dialog. Segalanya diukur dengan kinerja, bukan dengan kearifan. Dalam konteks birokrasi kita, negara tampak semakin “transparan”, tetapi sekaligus semakin tak teraba — seperti bayangan yang bisa dilihat, tapi tak bisa disentuh.
Baca juga : Etika di Balik Meja
Coba datang ke kantor pelayanan publik hari ini: wajah manusia digantikan layar, senyum digantikan antrean digital, dan suara rakyat digantikan nomor antrean yang dingin. Sistem online memang memudahkan, tapi juga memisahkan. Warga yang tak paham teknologi kerap tersingkir, sementara birokrat yang dulu dikenal kini hanya muncul lewat tanda tangan elektronik. Seolah negara menghilang di balik portal, login, dan formulir digital.
Kita menyebut ini kemajuan, padahal mungkin yang kita alami adalah bentuk baru keterasingan. Negara menjadi mesin besar yang efisien namun impersonal, sibuk melayani data tapi lupa menyapa manusia. Byung-Chul Han menyebut fenomena ini “transparansi yang kejam” — ketika segala hal dibuka, tapi kehilangan misteri, rasa, dan empati. Dalam terang yang berlebihan, wajah manusia justru lenyap.
Baca juga : Ekonomi Tanpa Jiwa
Warga bukan angka antrean, dan pelayanan bukan algoritma. Negara yang baik bukan hanya yang cepat memberi layanan, tapi yang hangat memberi pengakuan. Kita bisa memaafkan keterlambatan, tapi sulit memaafkan ketidakpedulian. Rakyat bisa menunggu, asal tahu bahwa mereka dihargai. Namun jika sistem lebih penting dari manusia, maka yang kita bangun bukan negara modern — melainkan negara otomatis, yang berjalan tanpa jiwa.
Negara kehilangan wajahnya ketika pejabatnya bicara data tanpa pernah menatap mata rakyatnya. Ketika kebijakan dibuat tanpa mendengar. Ketika pelayanan diserahkan pada mesin, bukan pada nurani. Efisiensi boleh dikejar, tapi kemanusiaan harus dijaga. Sebab di antara kecepatan dan kesempurnaan sistem, yang dibutuhkan rakyat hanyalah satu hal yang sederhana: rasa diakui sebagai manusia.
Baca juga : Upah untuk Martabat
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: di mana wajah negara itu sekarang? Ia bukan di kantor mewah, bukan di portal daring, dan bukan di laporan kinerja. Wajah negara sejati adalah wajah pegawai yang menyapa tanpa pamrih, wajah guru yang mengajar tanpa kamera, wajah dokter yang menenangkan pasien tanpa melihat jam. Negara baru akan benar-benar hadir ketika kembali berwajah manusia.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.






