RM.id Rakyat Merdeka – Di tengah derasnya arus informasi di media sosial, politik adu domba berbasis sentimen agama kian mengancam persatuan bangsa. Propaganda keagamaan yang dikemas dengan narasi kebencian “kita versus mereka” menjelma menjadi senjata ampuh untuk memecah belah masyarakat, terutama generasi muda yang aktif di ruang digital. Fenomena ini bukan sekadar perdebatan ideologis, tapi ancaman serius bagi fondasi kebangsaan jika tidak disikapi dengan bijak.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Didin Nurul Rosyidin, menilai strategi adu domba berbasis agama di dunia maya sering dimanfaatkan kelompok ekstrem seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) untuk mendelegitimasi pemerintah dan ulama moderat.
Baca juga : Meritokrasi Dan Politik Dalam Pemerintahan Menuju Indonesia Raya
“Kelompok ekstremis memanfaatkan isu keagamaan untuk menarik simpati anak muda dan menanamkan pengaruhnya,” ujar Didin, menanggapi penangkapan jaringan simpatisan ISIS di Sumatera Utara dan Sumatera Barat pekan lalu.
Menurutnya, kelompok ekstremis-jihadis kerap menyederhanakan realitas dunia yang kompleks menjadi dua kutub: hitam-putih, surga-neraka, atau kawan-musuh. Atas dasar itu, siapa pun yang tak sejalan dengan mereka—termasuk pemerintah, ulama moderat, bahkan keluarga sendiri—dianggap musuh yang harus dilawan. “Dunia dibagi secara sederhana menjadi kita dan mereka,” ujarnya di Cirebon.
Baca juga : Ryo Matsumura Mulai Pulih, Kabut Duka Persija Kian Menipis
Alumnus Universitas Leiden, Belanda, ini menilai ancaman terbesar dari propaganda semacam ini adalah rusaknya fondasi kebangsaan. Kelompok radikal, katanya, sering memanipulasi ayat suci dengan membenturkan agama dan Pancasila, seolah keduanya berlawanan. “Gerakan radikal teroris terus mempersoalkan Pancasila agar fondasi negara benar-benar hancur,” tegasnya.
Prof. Didin menjelaskan, ada dua faktor sosial-politik yang membuat propaganda ini mudah memengaruhi anak muda. Pertama, lemahnya sistem pendidikan agama yang lebih menekankan hafalan dan sejarah masa lalu ketimbang relevansi nilai agama untuk masa depan. “Banyak ustaz dan kiai sibuk membolak-balik kitab kuning, tapi gagal mengontekstualisasikan nilai agama untuk kehidupan masa kini,” ujarnya.
Baca juga : Kejagung Raih Penghargaan Institusi Terpopuler di Media Sosial 2025
Kedua, pengaruh budaya populer dan teknologi yang melahirkan tren “agama viral.” Menurutnya, sebagian anak muda kini menilai kebenaran agama dari seberapa populer atau viralnya sebuah tokoh atau konten. “Siapa yang bisa menguasai budaya pop beragama, dialah yang memengaruhi cara anak muda beriman. Padahal, beragama seharusnya didasari pengetahuan dan penghayatan, bukan sekadar tren,” ujar Didin.
Putra daerah asal Kuningan, Jawa Barat, itu menegaskan, menangkal propaganda ekstremisme tak bisa dilakukan satu pihak saja. Diperlukan kerja sama lintas sektor untuk membangun ekosistem religiusitas yang positif. “Kita butuh ruang dialog yang terbuka dan jujur tanpa saling menghakimi, agar anak muda mau terlibat dalam kajian keagamaan yang sehat dan mencerahkan,” tandasnya.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.