Bukti Diplomasi Presiden Prabowo Sebagai Pemimpin Dunia

Nasional9 Dilihat


Prof. Dr. Ermaya Suradinata


Prof. Dr. Ermaya Suradinata

RM.id  Rakyat Merdeka – Pujian yang diucapkan ­Presiden Amerika Serikat, ­Donald Trump, kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam Konferensi Perdamaian Sharm El-Sheikh 2025 di Mesir, menjadi lebih dari sekadar pernyataan diplomatik. Ini bukan hanya sapaan sopan antar kepala negara, melainkan simbol dari pengakuan inter­nasional terhadap peran Indonesia di kancah global.

Ketika Presiden Trump ­menyebut Presiden Prabowo sebagai “sosok luar biasa dari Indonesia”, dunia seakan berhenti sejenak untuk ­menyimak bagaimana seorang pemimpin dari Asia Tenggara kini mendapatkan tempat terhormat di antara jajaran tokoh global –yang selama ini mendominasi panggung internasional. Pujian itu, dengan segala lapisan maknanya, merepresentasikan lahirnya tatanan diplomasi baru di mana Indonesia bukan lagi sekadar pengamat, tetapi pelaku utama yang dihormati karena kemampuan dan prinsipnya.

Dalam konteks sejarah politik internasional, pengakuan dari Amerika Serikat terhadap pemimpin negara berkembang seperti Indonesia, bukanlah hal yang datang tanpa alasan. Amerika Serikat, sebagai simbol kekuatan global yang selama beberapa dekade mendominasi arah diplomasi dunia, memiliki kecenderungan hanya memberikan pujian kepada pihak yang dinilai memiliki signifikansi strategis atau moral yang tinggi.

Oleh karena itu, ketika ­Presiden Trump secara terbuka mengakui keistimewaan ­Presiden Prabowo di forum ­global, hal itu menandai suatu pergeseran paradigma: ­pengakuan bahwa kepemim­pinan dari dunia non-Barat kini memiliki bobot moral dan stra­tegis yang tidak bisa diabaikan. Di tengah dunia yang makin multipolar dan terpecah oleh konflik ideologis serta kepen­tingan ekonomi, munculnya Indonesia sebagai jembatan dialog dan kekuatan penyeimbang adalah momentum yang ­mengubah lanskap geopolitik dunia.

Baca juga : Meritokrasi Dan Politik Dalam Pemerintahan Menuju Indonesia Raya

READ  Dipantau Sejak Di Kamboja Pemilik Situs Judi Online Ditangkap Di Bandara Soetta

Diplomasi Presiden ­Prabowo telah berkembang menjadi bentuk baru dari kepemimpinan global yang berakar pada nilai-nilai Pancasila. Ia menolak di­kotomi antara ke­kuatan dan kemanusiaan, antara nasio­nalisme dan universalitas. Dalam setiap langkahnya, ia menegaskan bahwa diplomasi bukan tentang dominasi, melainkan tentang ­keseimbangan antara kehormatan nasional dan ­tanggung jawab global.

Inilah alasan mengapa dunia mendengar, dan mengapa ­Presiden Trump—seorang tokoh yang dikenal keras dalam prinsip nasionalismenya—memberikan apresiasi kepada sosok yang justru menjunjung nilai-nilai perdamaian. Dalam kacamata realpolitik, hal ini menandakan keberhasilan Indonesia memainkan peran ganda: tetap berdaulat, namun juga relevan; tetap mandiri, namun tidak terisolasi.

Dalam beberapa tahun ter­akhir, diplomasi Indonesia menunjukkan pergeseran stra­tegis dari pendekatan yang reaktif menuju yang proaktif. Indonesia kini tampil sebagai mediator dalam konflik internasional, penengah dalam ­perundingan kawasan, dan penggerak dalam inisiatif kemanusiaan global. Keberhasilan diplomasi semacam ini lahir dari filosofi yang menempatkan kemanusiaan sebagai fondasi dari keamanan. Sebab, sebagaimana sering diungkapkan Prabowo, perdamaian sejati tidak mungkin lahir tanpa rasa keadilan, dan keadilan tidak akan mungkin tercapai tanpa kemandirian bangsa.

Dalam forum seperti Sharm El-Sheikh, di mana isu-isu ­global tentang perdamaian, keamanan energi, dan stabilitas kawasan menjadi pembahasan utama, kehadiran Indonesia bukan lagi simbol kehadiran ­formalitas, tetapi representasi ­suara moral dunia. ­Presiden Trump ­mengakui bahwa ­diplomasi Presiden Prabowo telah mengangkat ­Indonesia menjadi kekuatan moral yang mampu menyeimbangkan ­narasi global, yang selama ini di­dominasi oleh ­kepentingan ­ekonomi dan militer.

Baca juga : Gejolak Geopolitik Amerika Dan Jalan Stabilitas Menuju Indonesia Raya

Maka Pujian Presiden Trump terhadap Presiden Prabowo bukanlah tindakan kosong, melainkan proses konstruksi identitas baru bagi Indonesia di mata dunia. Ia menunjukkan bahwa kekuatan suatu negara kini tidak lagi ditentukan semata oleh kemampuan militernya, melainkan oleh kredibilitas moral dan konsistensi politiknya. Diplomasi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo berhasil membangun trust capital—modal keper­cayaan inter­nasional—yang sangat berharga dalam membentuk tatanan dunia yang lebih berimbang.

READ  Meriah, Atraksi Udara di Langit Jakarta Semarakkan HUT Ke-80 RI

Bersamaan pula diplomasi Presiden Prabowo mencermin­kan kebangkitan paradigma baru dari Selatan Global. Indonesia, yang selama ini dikenal moderat dan netral, kini menampilkan bentuk kepemimpinan yang aktif namun tidak hegemonik. ­Presiden Prabowo menghidupkan kembali semangat Konferensi Asia-Afrika 1955 dalam bentuk yang lebih kontekstual: bukan lagi sekadar solidaritas politik, tetapi solidaritas kemanusiaan. Ia mengembalikan posisi Indonesia sebagai moral compass dunia, di mana kepemimpinan tidak diukur dari kekuasaan, tetapi dari kemampuan untuk menuntun dan menenangkan.

Pengakuan internasional ini juga membawa konse­kuensi yang besar. Di satu sisi, ia meneguhkan legitimasi moral Indonesia di mata dunia; namun di sisi lain, ia mengundang ekspektasi yang tinggi terhadap kemampuan Indonesia untuk memelihara stabilitas global. Dunia menantikan bagaimana Indonesia di bawah kepemim­pinan Presiden Prabowo dapat terus menjadi mediator yang kredibel di tengah ketegangan geopolitik, baik di Laut China Selatan, Timur Tengah, maupun Afrika.

Tanggung jawab sebagai ­“pemimpin dunia” bukanlah beban simbolik, melainkan ujian nyata bagi kapasitas strategis dan moral bangsa. Dalam hal ini, diplomasi Presiden Prabowo tidak boleh berhenti pada tataran simbol, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan konkret: memperkuat kerja sama Selatan-Selatan, mendorong inisiatif ­perdamaian, serta memperjuangkan tata ekonomi dunia yang lebih adil.

Baca juga : Gaung Soekarno Dan Prabowo Di PBB: Seruan Kemanusiaan Dan Perdamaian

Jadi, pujian Presiden Donald Trump hanyalah permukaan dari gelombang besar yang sedang bergerak di bawahnya: gelombang perubahan dalam cara dunia memandang Indonesia. Negara yang dulu dikenal sebagai bangsa berkembang kini tampil sebagai negara penuntun, bangsa yang mampu mengubah kelembutan menjadi ke­kuatan, dan menjadikan nilai-nilai Panca­sila sebagai energi moral dalam percaturan global. Dunia melihat bahwa diplomasi Indonesia bukanlah diplomasi yang tunduk, tetapi diplomasi yang menuntun; bukan diplomasi yang mengekor, tetapi diplomasi yang memimpin.

READ  Periode Lebaran 17 Penerbangan Baru Dibuka di Bandara InJourney Airports

Di tengah perubahan geo­politik yang tidak menentu, Presiden Prabowo menampilkan corak kepemimpinan yang menenangkan sekaligus ­menegaskan: bahwa kedaulatan tidak harus diucapkan dengan ancaman, dan perdamaian tidak harus ­diperoleh melalui kompromi nilai.

Dunia kini mulai me­mahami bahwa kekuatan sejati­Indonesia bukan terletak pada ­jumlah ­penduduknya atau luas wilayahnya, melainkan pada kedewasaan politik dan ­moral pemimpinnya: berdasarkan idelogi Pancasila sebagaimana tertulis dalam Asta Cita nomor satu: Penguatan ­Ideologi Panca­sila, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah DIRJEN SOSPOL DEPDAGRI RI 1999-2001 DAN GUBERNUR ­LEMHANNAS RI 2001-2005.


Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News


Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *