
Prof. Dr. Ermaya Suradinata
RM.id Rakyat Merdeka – Pidato Presiden Ir. Soekarno di Sidang Umum PBB tahun 1960, adalah salah satu momen paling bersejarah dalam diplomasi Indonesia. Dalam pidatonya yang terkenal dengan judul “To Build the World Anew”, Bung Karno menyerukan agar dunia yang timpang dan penuh luka akibat kolonialisme segera dirobohkan dan dibangun kembali di atas fondasi kemerdekaan, kesetaraan, dan keadilan.
Ia menegaskan, “Imperialism, and the struggle to defend it, is a great crime in our world.” (“Imperialisme dan perjuangan untuk mempertahankannya adalah kejahatan besar di dunia kita.”) Pernyataan ini bukan hanya protes atas penindasan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, melainkan juga pengingat moral bahwa perdamaian sejati hanya lahir ketika semua bangsa diperlakukan setara.
Baca juga : Pemerintahan Dalam Pembangunan Asta Cita Pusat Dan Daerah Untuk Indonesia Raya
Enam puluh lima tahun kemudian, Indonesia kembali berdiri tegak di mimbar yang sama. Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum PBB ke-80 tahun 2025, menegaskan kesinambungan pesan kemanusiaan itu. Ia menyampaikan bahwa dunia yang damai tidak mungkin terwujud bila bangsa-bangsa kecil terus hidup dalam ketakutan dan keterpaksaan.
Kutipannya yang paling mengena adalah, “Dengan PBB yang kuat, kita bisa membangun dunia di mana yang lemah tidak menderita karena keterpaksaan, tetapi hidup dalam keadilan yang layak mereka dapatkan.” Di sini, Presiden Prabowo menempatkan Indonesia sebagai jembatan moral di tengah pusaran multipolaritas dunia.
Baca juga : Manajemen Pemerintahan Pusat Dan Daerah Dalam Mewujudkan Asta Cita
Kedua pidato ini menggambarkan konsistensi arah diplomasi Indonesia: membela mereka yang lemah, menolak imperialisme, dan menyuarakan demokrasi universal. Soekarno berbicara pada saat bangsa-bangsa baru merdeka menuntut pengakuan dan haknya. Prabowo berbicara pada saat dunia dihadapkan pada konflik global, persaingan geopolitik, dan ancaman ketidakadilan struktural. Meski konteks berbeda, keduanya lahir dari satu sumber moral yang sama: amanat UUD 1945 bahwa penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan.
Gaung seruan itu tidak hanya berhenti pada retorika. Soekarno berhasil meletakkan Indonesia sebagai motor Konferensi Asia-Afrika, mengikat solidaritas negara-negara Selatan Global. Prabowo melanjutkannya dengan menawarkan kontribusi nyata: mengirim hingga 20.000 pasukan perdamaian bila diperlukan, serta menegaskan dukungan penuh bagi solusi dua negara di Palestina. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya berbicara, tetapi juga menawarkan tindakan konkret dalam menjaga perdamaian dunia.
Dari Soekarno hingga Prabowo, gema suara Indonesia di PBB adalah gema yang abadi: seruan bagi kemanusiaan, perdamaian, demokrasi, dan keadilan. Kedua pemimpin ini membuktikan bahwa meskipun dunia terus berubah, amanat konstitusi tetap sama: berdiri di barisan terdepan melawan kolonialisme dan imperialisme, serta mengingatkan dunia bahwa perdamaian sejati tidak akan pernah lahir tanpa kesetaraan.
Inilah warisan diplomasi Indonesia yang tidak hanya menggetarkan sejarah, tetapi juga terus relevan bagi masa depan umat manusia. Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai bagian dari komunitas manusia yang menolak segala bentuk penjajahan. Rumusan Pembukaan UUD 1945 menempatkan kemerdekaan sebagai hak kodrati setiap bangsa, sebuah hak yang lahir bersama denyut kehidupan.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.