RM.id Rakyat Merdeka – Pagi belum benar-benar terbit ketika sinar matahari pertama menembus barisan tambak di Dusun Oelasin, Rote Ndao, kabupaten di ujung selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kilau putih kristal garam memantul seperti serpihan kaca di bawah sinar mentari. Dari kejauhan, suara sekop dan cangkul bertalu-talu di atas petak tambak yang mengering. “Ini baru musim bagus,” kata Yohanes Dae, petambak garam yang sudah 20 tahun menekuni pekerjaan itu. “Kalau cuaca begini, hasil bisa sampai dua ton seminggu,” lanjutnya.
Namun di balik wajah sumringah Yohanes, terselip realitas yang lebih besar: Indonesia masih harus mengimpor garam industri hingga ratusan ribu ton setiap tahun. Padahal negeri ini memiliki lebih dari 81.000 kilometer garis pantai, iklim tropis yang ideal, dan tenaga kerja pesisir yang melimpah. Di titik inilah pemerintah menegaskan kembali ambisinya —swasembada garam dan pangan biru sebagai fondasi kemandirian ekonomi maritim Indonesia.
Langkah Nasional Menuju Kemandirian
Pertanyaan mendasarnya: Mengapa Indonesia harus berswasembada garam dan pangan biru? Jawabannya, menyentuh inti dari kedaulatan ekonomi dan sosial. Garam adalah komoditas strategis — bukan sekadar bumbu dapur, melainkan bahan penting bagi industri pangan, farmasi, petrokimia, hingga penyamakan kulit. Sementara pangan biru, hasil laut dan perikanan, adalah tulang punggung ketahanan gizi nasional dan ekspor.
Baca juga : Tito Karnavian: Bonus Demografi San Desa Jadi Kunci Indonesia Maju 2045
“Swasembada garam harus menjadi prioritas nasional dan saatnya kita ambil langkah nyata,” kata Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam peresmian program Blue Economy Roadmap di Surabaya, 6 Februari 2025. Ia menambahkan, pemerintah tengah menyiapkan model terintegrasi antara kawasan tambak, gudang, dan sentra distribusi agar rantai pasok tidak lagi terputus.
Langkah konkret itu sudah berjalan. Di Rote Ndao, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Pamekasan, pemerintah mengembangkan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN). Menurut Koswara, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, upaya itu menuntut sinergi lintas instansi.
“Keterlibatan berbagai pihak sangat dibutuhkan. Kami sudah mintakan pendampingan kepada Kejaksaan, supaya semua berjalan transparan dan tepat sasaran,” ujar Koswara dalam acara koordinasi pusat-daerah pembangunan kawasan garam di Jakarta, 28 Juli 2025.
Pangan Biru: Napas dari Laut
Sementara itu, di wilayah pesisir Lamongan, kapal-kapal nelayan berangkat ketika dini hari baru merekah. Di antara mereka, Nur Khasanah, nelayan perempuan, menebar jala sambil berkata pelan, “Laut ini sekolah kami, sekaligus dapur.”
Baca juga : Generasi Muda Jadi Tulang Punggung Diplomasi Publik Indonesia
Konsep blue food atau pangan biru — yang kini menjadi jargon global — menemukan relevansinya di perairan Indonesia. Laut bukan sekadar sumber tangkapan, tetapi juga ruang hidup, laboratorium ekonomi, dan sumber protein murah bagi ratusan juta warga.
Foto ilustrasi petambak garam. [Sumber: pixabay.com]
Dalam siaran pers ANTARA English 2 November 2024, artikel “Supporting Food Sufficiency through Blue Economy” menyebutkan: “Given the wealth of the sea, sea fish spread across various regions in Indonesia can support the food sufficiency target.” Pernyataan itu menegaskan bahwa keberlimpahan ikan dan biodiversitas laut Indonesia adalah anugerah strategis bagi ketahanan pangan dunia. Namun tantangannya tak sederhana.
Menurut Prof. Isnawati, pakar ketahanan pangan dari Universitas Negeri Surabaya, pada pernyataannya di Surabaya, 6 April 2025 pada peringatan Hari Nelayan Nasional menyatakan, peran nelayan sangat vital dalam memastikan ketersediaan protein hewani. “Tapi banyak nelayan kita masih menggunakan peralatan tradisional dan belum punya akses teknologi keberlanjutan,” tegasnya.
Kata-kata Isnawati mengandung ironi: kekayaan laut yang melimpah, tak selalu berarti kesejahteraan nelayan.
Antara Cuaca, Teknologi, dan Kebijakan
Baca juga : Projo Dukung Prabowo-Gibran, Pasbata: Saatnya Bersatu Bangun Indonesia
Bagi para petambak garam, cuaca sering menjadi nasib. Musim hujan yang berkepanjangan bisa menggagalkan panen. “Kalau hujan datang terus, hasil kami bisa nol,” ujar Yohanes Dae di Rote. Karena itu, pemerintah mulai mendorong penggunaan teknologi geomembrane dan solar dome dryer — inovasi yang memungkinkan produksi tetap stabil di musim basah.
Pemerintah menargetkan swasembada garam nasional pada 2027, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2025. Rencana ini tidak hanya soal volume, tetapi juga soal kualitas garam industri yang selama ini masih menjadi alasan impor.
“Dengan sistem terintegrasi, nilai tambah garam diharapkan tetap berada di dalam negeri,” ujar Menteri Trenggono, saat kunjungan kerja ke Rote Ndao, 3 September 2025.
Di sisi lain, upaya memperkuat pangan biru berjalan melalui lima pilar ekonomi biru KKP; 1) Perluasan kawasan konservasi laut; 2) Penangkapan ikan terukur berbasis kuota; 3) Budi daya berkelanjutan; 4) Pengelolaan pesisir dan pulau kecil; dan 5) Pengendalian sampah plastik laut.
Melalui program ini, pemerintah ingin menyeimbangkan produktivitas ekonomi dengan keberlanjutan ekosistem.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram “Rakyat Merdeka News Update”, caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.






